WAKTU MULAI BERDIRI UNTUK SHALAT

Afwan kiyai, izin bertanya kapan sebaiknya makmum berdiri ketika iqamat telah dikumandangkan ? Karena saya melihat ada yang berdiri diawal dan ada yang nunggu sampai pada lafadz tertentu. Mohon penjelasannya.

 

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Mengenai kapan sebaiknya kita berdiri untuk shalat para ulama telah menjelaskan dalam kitab-kitab mereka. Hanya saja terjadi khilaf diantara mereka. Namun secara umum berdirinya makmum untuk shalat selain karena iqamat telah dikumandangkan, juga mempertimbangkan keberadaan imam. Bukan seperti yang kebanyakan terjadi hari ini, yakni dengan mengikuti kode dari timer waktu.

Sedangkan imam shalat berjama’ah secara umum berada dalam salah satu dari dua kondisi berikut ini : 

1.     Imam berada di dalam Masjid.

Ketika imam telah berada di dalam masjid, maka waktu untuk berdiri bagi makmum menurut para ulama adalah :

A.   Madzhab Syafi’i

            Menurut kalangan Syafi’iyyah dianjurkan berdirinya makmum adalah ketika telah selesai dikumandangkannya iqamat.  Berkata al imam Nawawi rahimahullahu ta’ala :

قد ذكرنا أن مذهبنا أنه يسحب للمأموم والإمام أن لا يقوما حتى يفرغ المؤذن من الإقامة هكذا أطلقه المصنف والجمهور وقال صاحب الحاوي في آخر باب الأذان ينبغى لمن كان شيخا بطئ النهضة أن يقوم عند قوله قد قامت الصلاة ولسريع النهضة أن يقوم بعد الفراغ ليستووا قياما في وقت واحد 

“Kami telah menyebutkan bahwa dalam madzhab kami adalah : Bahwa makmum dan juga imam untuk tidak bangun sampai muadzin menyelesaikan iqamah. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh penulis  (Syaikh Syairazi) dan jumhur ulama.

Dan berkata pengarang kitab al Hawi di akhir bab tentang adzan :  Orang tua yang lambat bangunnya untuk shalat berdiri saat sampai di lafadz “Qad Qamati ash Shalah”, dan orang-orang yang sehat yang bisa cepat bangun untuk berdiri saat adzan selesai, agar mereka bisa berdiri pada saat yang sama.”[1]

B.    Madzhab Maliki

Menurut kalangan Malikiyyah, berdirinya makmum bila memang tidak untuk menyambut kedatangan imam, maka ia dikembalikan kepada kebiasaan setempat, boleh di awal, di lafaz tertentu, bahkan boleh juga di akhir Iqamat.[2]

Berkata Ibnu Rusyd rahimahullah :

قد خرجت فإن صح هذا وجب العمل به، وإلا فالمسألة باقية على أصلها المعفو عنه، أعني أنه ليس فيها شرع، وأنه متى قام كل واحد، فحسن

Jika hadist ini shahih, maka wajib mengamalkannya.[3] Jika tidak, maka permasalahan seputar berdirinya jamaa’ah tetap sebagaimana awalnya sebagai keadaan yang ditolelir (luas). Yaitu, tidak ada aturan dalam permasalahan tersebut. Maka kapanpun seseorang berdiri maka itu dianggap baik.”[4] 

C.    Madzhab Hanbali

Dianjurkannya untuk berdiri bagi makmum menurut madzhab ini adalah ketika Iqamah sampai di lafadz "Qad Qamati ash Shalah". Berkata al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah ta’ala :

وإنما قلنا: إنه يقوم عند قوله: قد قامت الصلاة؛ لأن هذا خبر بمعنى الأمر، ومقصوده الإعلام ليقوموا، فيستحب المبادرة إلى القيام امتثالا للأمر، وتحصيلا للمقصود

Adapun Menurut madzhab kami : Saat berdiri adalah ketika sampai di lafadz “Qad qamati ash Shalah”. Hal ini karena lafadz ini menunjukkan perintah. Dan maksud dari diumumkan (iqamat) adalah untuk berdiri. Maka disukai bersegera untuk berdiri dalam rangka melaksanakan perintah tersebut dan tercapainya dari tujuan (dikumandangkannya iqamat).”[5]

Pendapat Hanabilah ini disandarkan kepada sebuah atsar dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu :

أنه كان يقوم إذا قال المؤذن: قد قامت الصلاة

“Sesungguhnya adalah dia berdiri saat muadzin mengucapkan : Qad qamatis shalah‘.”[6] 

D.   Madzhab Hanafi

Adapun kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa berdirinya makmum adalah ketika iqamah sampai  pada lafadz "Hayya 'ala ash Shalah".

 

Disebutkan dalam kitab Majmu’ al Anhar :


قيام الإمام والقوم إلى الصلاة (عند حي على الصلاة وقيل عند حي على الفلاح) أي حين يقول المؤذن ذلك؛ لأنه أمر به فتستحب المسارعة إليه إن كان الإمام بقرب المحراب، وإلا فيقوم كل صف ينتهي إليه الإمام على الأظهر

 

“Imam dan orang-orang berdiri untuk shalat ketika di lafadz “Hayya ‘ala ash Shalah”
dan dikatakan juga di lafadz  “Hayya ‘ala al Falah”. Yaitu, ketika muadzin mengucapkan itu. 
Karena itu adalah perintah, maka dianjurkan untuk bergegas melaksanakannya.
               Hal itu jika imam berada di dekat mihrab. Jika tidak, maka setiap shaf berdiri 
bersamaan ketika imam telah nampak.”[7]

2.     Imam berada di luar masjid

Sebagian imam ada yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam, yakni beliau akan shalat qabliyah terlebih dahulu di rumah, baru kemudian menuju masjid untuk mengimami shalat berjamaah.

Begitu beliau nampak, bilal akan langsung berdiri mengumandangkan iqamat. Dan para sahabat akan berdiri begitu melihat Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam.

Jika dalam kondisi seperti ini, maka yang afdhal menurut mayoritas ulama adalah berdiri ketika telah melihat imam. Berdasarkan sebuah hadits : 

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَلاَ تَقُومُوا حَتَّى تَرَوْنِي

“Apabila dikumandangkan iqamah, janganlah kalian berdiri, hingga kalian melihatku.” (HR. Bukhari)

Disebutkan dalam al Mausu’ah : 

هذا إذا كان الإمام حاضرا بقرب المحراب، فإن لم يكن حاضرا، يقوم كل صف حين ينتهي إليه الإمام على الأظهر، وإن دخل الإمام من قدام، قاموا حين يقع بصرهم عليه

 

“Ini (bahasan di atas) adalah ketika imam berada di dekat mimbar (ada di dalam masjid).  Jika imam belum hadir, maka berdirinya jama’ah di setiap shaf adalah ketika imam telah tiba di shaf-shaf tersebut.

Dan jika imam munculnya dari depan, maka orang-orang berdiri saat mereka telah melihat imam.”[8]

            Adapun praktik sebagian jama'ah yang berdiri ketika si 'China' atau 'Korea' berbunyi "tit tit tit" itu jelas tidak ada dasar dari ulama mazhab bahkan ulama manapun.

Memakai si mesin untuk pembatas waktu, itu sih sah-sah saja, tapi jangan biarkan dia turut campur terlalu jauh sampai menyentuh ke ritual ibadah. Posisikan dia hanya sebagai penanda waktu, berdirinya untuk imam shalat saja...

Wallahu a’lam.


[1] Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3/225)

[2] Syarh Shaghir (1/256).

[3] Yakni Hadits : “Jika Iqamat telah dikumandangkan, maka jangan kalian berdiri sampai melihat aku.”

[4] Bidayatul Mujtahid (1/50).

[5] Al Mughni (1/332)

[6] Sunan Al Kubra (2/21)

[7] Majmu’ al Anhar fi Syarh Multaqa al Abhar (1/91).

[8] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (34/111).

 

0 comments

Post a Comment