HUKUM SUSUAN

 Afwan Kiyai, mohon dijelaskan tentang hukum yang berkaitan dengan persusuan dalam Islam.

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Pengertiannya

Persususan secara istilah adalah sampainya ASI milik seorang wanita, atau apa yang dihasilkan dari ASI tersebut kepada seorang bayi dengan adanya syarat tertentu.[1]

Syarat sahnya persusuan

Adapun untuk syarat sahnya persusuan, ulama menetapkan sebagai berikut :

1.     Aktivitas menyusu minimal dilakukan lima kali susuan.

      Para ulama bersepakat bahwa hukum susuan berlaku jika telah terjadi lima kali penyusuan atau lebih. Dan terjadi perbedaan pendapat ulama, bila kurang dari lima kali tersebut.[2]

      Dalam pandangan mayoritas ulama, dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian riwayat dari madzhab Hanabilah menyatakan bahwa menyusu meskipun hanya sekali, asalkan susu itu sampai di lambung bayi, maka berlakulah hukum susuan.[3]

      Dalil pendapat ini adalah keumuman firman Allah ta’ala : “Dan ibu yang menyusui kalian.” (QS. An Nisa : 23)

Dan juga disebutklan dalam hadits :

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ


Diharamkan untuk persusuan apa yang diharamkan oleh nasab.” (HR. Bukhari)

Pendalilannya adalah bahwa disebutkannya hukum susuan dalam ayat dan hadits  secara mutlak tanpa adanya pembatasan jumlah minimal.[4]

Sedangkan Menurut kalangan Syafi’iyyah dan pendapat yang kuat dalam Hanabilah menyatakan bahwa batas minimal sahnya hukum susuan tidak boleh kurang dari lima kali menyusu baik secara terputus ataupun dengan terus menerus.[5]

Dan hitungan diberlakukan setiap kali penyusuan yang kenyang. Artinya, jika bayi menyusu, kemudian melepaskan, lalu menyusu lagi, demikian seterusnya, maka itu dihitung satu penyusuan saja.[6] Biasanya bayi yang telah kenyang menyusu akan tidur atau berhenti dalam waktu yang lama.

Adapun yang dimaksud dengan terputus pada kalimat diatas adalah misalnya seorang bayi menyusu hingga kenyang dalam sehari, lalu baru disusukan lagi beberapa waktu kemudian. Maka itu berlanjut terhitung susuan yang kedua.

Sehingga meminum ASI yang cuma sedikit, atau hanya sekali-dua kali yang tidak sampai lima kali, tidak  masuk ke dalam hukum susuan. Diantara dalil yang yang digunakan oleh pendapat ini adalah hadits-hadits berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ

Dari ‘Aisyah dia berkata: “Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dihapus dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR. Muslim)

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ دَخَلَ أَعْرَابِيٌّ عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِي فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي كَانَتْ لِي امْرَأَةٌ فَتَزَوَّجْتُ عَلَيْهَا أُخْرَى فَزَعَمَتْ امْرَأَتِي الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتْ امْرَأَتِي الْحُدْثَى رَضْعَةً أَوْ رَضْعَتَيْنِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَالْإِمْلَاجَتَانِ

Dari Ummu Al Fadhl dia berkata, seorang arab badui masuk menemui Nabi shalallahu’alaihi wassalam sementara beliau berada dalam rumahku. Dia berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya padaku terdapat seorang wanita, lalu aku menikahinya. Istri pertamaku berkata bahwa dia telah menyusuinya dua kali susuan, maka beliau menjawab : ‘Satu dua susuan tidaklah menjadikan mahram”. (HR. Muslim)

2.      Yang meminum air susu usianya maksimal berusia dua tahun

Mayoritas ulama yakni dari kalangan Syafi’iyyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa usia maksimal dari berlakunya hukum susuan adalah ketika anak tersebut masih berusia dua tahun menurut tahun hijriyah atau kurang. Lebih dari pada itu, hukum susuan tidak berlaku.[7] Dalil pendapat ini adalah firman Allah ta’ala :

 

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah : 233)

Juga adanya dalil dari hadits- hadits berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ فَكَأَنَّهُ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ كَأَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّهُ أَخِي فَقَالَ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ

“Dari Aisyah radliallahu‘anha, bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam suatu ketika menemuinya, sementara di tempatnya terdapat seorang laki-laki. maka air muka beliau berubah seakan-akan tidak menyukainya, maka Aisyah pun berkata, “Sesungguhnya ia adalah saudaraku.” Maka beliau bersabda: “Lihatlah siapakah saudara-saudara sesusuan kalian, karena susuan itu karena lapar.” (HR. Bukhari)

لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ

 “Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali susuan yang membelah usus (mengenyangkan) pada payudara dan terjadi sebelum disapih.” (HR. Tirmidzi)

Pada  hadist yang disebutkan, Rasulullah mensyaratkan bahwa persusuan yang berkonsekuensi hukum adalah masa sebelum bayi disapih dan karena sebab lapar. Yakni, itu semua menunjukkan makna aktivitas menyusunya seorang bayi.

Hal yang sama juga dinyatakan oleh fatwa para shahabat diantaranya Abdullah bin Mas’ud :  “Tidak ada hukum persusuan kecuali susuan yang mengokohkan tulang dan menumbuhkan daging”. (HR. Abu Daud)


            Sedangkan sebagian ulama lainnya dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa hukum susuan bisa berlaku hingga bayi berusia tiga puluh bulan, dengan mengambil dzahir ayat :

وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

 “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al Ahqaf; 15)

Yakni kalangan ini memaknai kata Hamldalam ayat tersebut bukan bermakna hamil, tetapi bermakna menggendong (mengasuh). Sehingga masa penyusuan sampai penyapihan memakan waktu tiga puluh bulan, bukan 2 tahun.

Bahkan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada waktu maksimal, artinya hukum persusuan tetap berlaku baik yang meminum air susu adalah bayi dibawah dua tahun maupun di atasnya, bahkan masih tetap berlaku meski sudah dewasa.

Pendapat ini didasarkan kepada hadits salim, namun tidak perlu kami cantumkan di sini untuk meringankan bahasan dan pendapat ini telah dibantah oleh kebanyakan para ulama.

Hukum yang berkaitan dengan penyusuan

Ulama bersepakat bahwa persusuan yang sah menyebabkan berlakunya hukum mahram muabad, yakni kemahraman yang kekal selama-lamanya. Seperti haram untuk menikah, bolehnya menampakkan sebagian aurat dan beberapa hal lainnya  yang berlaku dalam kemahraman karena sebab nasab.[8]

Hal ini berdasarkan hadits :Diharamkan untuk persusuan apa yang diharamkan oleh nasab.” (HR. Bukhari)

Adapun yang diharamkan untuk dinikahi di sini ada tujuh pihak. Untuk memudahkan kami sebutkan contoh jika bayi yang menyusu adalah anak laki-laki, maka yang diharamkan untuk dinikahi olehnya adalah : (1) Ibu yang menyusui  (2) Anak wanita dari  ibu susu (3) Saudari dari ibu susu  (4) Ibu dari  Ibu susu (5) Ibu dari suami  ibu susu (6) saudari dari suami ibu susu (7) Saudari sepersusuan.[9]

Bagaimana jika ibu susuan orang kafir atau anak susuannya adalah orang kafir, apakah hukumnya tetap berlaku ? Ya, hukumnya tetap sama berlaku, karena nash tentang masalah persusuan tidak membedakan dua keadaan ini.[10] Hanya saja hal ini dimakruhkan, termasuk menyusu kepada orang fasik. Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata : “Susu itu bisa membuat serupa dengan pemberi susunya. Oleh karena itu, jangan menyusui dari orang Yahudi, Nasrani serta pezina.”[11]

Namun hubungan saudara sesusuan ini hanya berdampak dalam masalah kemahraman saja, dan tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap masalah waris dan beberapa hal lainnya. Berkata al Imam Nawawi rahimahullah :

وأجمعت الأمة على ثبوتها (الحرمة) بين الرضيع والمرضعة وأنه يصير ابنها يحرم عليه نكاحها أبدا ويحل له النظر اليها والخلوة بها والمسافرة ولا يترتب عليه أحكام الأمومة من كل وجه فلا يتوارثان ولا يجب على واحد منهما نفقة الآخر ولا يعتق عليه بالملك ولا ترد شهادته له.. فهما كالأجنبيين في هذه الأحكام

Umat ini telah bersepakat atas kemahraman antara yang menyusui dan yang disusui, dan ia menjadi anaknya yang haram dinikahi selamanya, dan ia boleh melihat kepadanya auratnya dan berkhalwat dengannya serta bepergian bersamanya. Namun tidak semua hukum per-ibu-an berlaku (akibat susuan), seperti bahwa ia tidak mewarisi satu sama lain, dan tidak wajib saling menafkahi, dan tidak membebaskan perbudakannya, dan juga tidak tertolak kesaksian keduanya untuk satu sama lain..Mereka dalam hukum-hukum ini sama seperti dua orang asing.[12]

Dalam penjelasan lainnya :

وسبب تحريم الرضاع أن اللبن جزء المرضعة وقد صار من أجزاء الرضيع فأشبه منيها في النسب .ويؤثر في تحريم النكاح ابتداء ودواما وجواز النظر والخلوة ، وعدم نقض الطهارة باللمس دون سائر أحكام النسب ، كالميراث والنفقة والعتق للملك وسقوط القصاص ورد الشهادة ونحو ذلك

Sebab kemaharaman susuan adalah karena susu merupakan bagian dari perempuan yang menyusui dan ia telah menjadi bagian dari anak yang disusui sehingga hal itu menyerupai mani dalam nasab. Susuan menyebabkan keharaman menikah selamanya, kebolehan melihat aurat, berkhalwat dan tidak batal wudhu ketika bersentuhan. Namun tidak semua hukum nasab berlaku, seperti hak waris, memerdekakan budak, tidak diqishash, tertolaknya kesaksian serta lain sebagainya.[13]

 

 Demikian. Wallahu a’lam.

 



[1] Mu’jam al Washith (2/403)

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (22/244).

[4] Bada’i ash Shana’i (4/8), Hasyiah Dusuqiy (2/502), Kasy al Qina’ (5/445), Bidayatul Mujtahid ( 2/31).

[5] Nihayatul Muhtaj (7/176), al Mughni (7/535).

[6] Fiqh al Islami wa Adilatuhu (10/7288).

[7] Al Mughni (18/ 82), al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (22/246).

[8] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (22/247),

[9] Raudhah ath Thalibin (9/24), al Mughni (6/581), Badai’ ash Shana’i (4/13).

[10] Al Harsyi (4/182), al Mughni (7/562).

[11] al Mughni (7/563).

[12] Syarh Shahih Muslim (10/19).

[13] Bujairami’ala Khatib (4/69).

0 comments

Post a Comment