KETIKA SUJUD KAKI RENGGANG ATAU RAPAT ?

Izin Bertanya kiyai, ketika kita sujud, kaki kita sebaiknya dirapatkan atau direnggangkan ? Saya belajar sejak kecil kaki itu direnggangkan, namun belakangan ada yang bilang bahwa yang sesuai sunnah adalah yang dirapatkan. Mohon ilmu dari pak kiyai.

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

            Sepengetahuan kami justru mayoritas ulama dari empat madzhab baik dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan juga pendapat yang kuat dari madzhab Hanabilah adalah  menyatakan dalam sujud tumit adalah direnggangkan, bukan dirapatkan.[1]

            Ada sebagian pendapat yang memang menyatakan bahwa tumit atau mata kaki dirapatkan dalam sujud. Pendapat ini dinisbahkan kepada kalangan Hanabilah, tapi saya agak kesulitan mendapatkan rujukan pernyataan tersebut dari madzhab ini. Ada pernyataan dari Ibnu Muflih dalam kitabnya al Mubdi  fi Syarh al Muqni’ namun tidak jelas dan dinyatakan tidak tepat penukilannya oleh sebagian ulama. Yang saya dapatkan hanya fatwa-fatwa dari ulama Saudi seperti Syaikh Utsmain dan lainnya. Mungkinkah kepada mereka dinisbahkan Hanabilah Mutaakhirin ?

 

Bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan :

ضم العقبين في السجود: هذه المسألة يُتَرْجَمُ لها بذلك, وبلفظ: رَصُّ العقبينِ في السجود وبلفظ: جمع العقبين وبلفظ: جمع القدمين.نظرت في جملة من مشهور كتب المذاهب الفقهية الأَربعة, عن وَصْفٍ لحال القدمين في السجود من ضم أو تفريق؛ فلم أر في كتب الحنفية والمالكية شيئاً.ورأيت في كتب الشافعية: والحنابلة, استحباب التفريق بينهما, زاد الشافعية: بمقدار شبر.

“Mengumpulkan kedua mata kaki ketika sujud : Masalah ini Kadang disebut juga dengan istilah merapakan mata kaki ketika sujud, dan disebut juga mengumpulkan mata kaki, juga disitilahkan dengan merapatkan kedua kaki.

 Aku telah meneliti ke kitab-kitab yang masyhur dalam madzhab fiqih yang empat, tentang sifat kedua kaki ketika sujud apakah dirapatkan atau direnggangkan, dan aku tidak melihat bahasan ini sama sekali di dalam kitab-kitab Hanafiyah dan juga Malikiyah.

Dan aku menemukannya di dalam kitab-kitab madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa keduanya menyatakan yang sunnah itu memisahkan kedua kaki. Dalam mazhab Syafi’i dengan tambahan seukuran sejengkal.”[2]

Baiklah, kita simak saja penjelasan masing-masing pendapat tentang masalah ini.

1.    Kaki di rapatkan

Sebagian  ulama menyatakan bahwa kedua tumit kaki ketika sujud adalah dirapatkan.  Berkata Syaikh Utsaimin rahimahullah :

فالسنة في القدمين هو التراص بخلاف الركبتين واليدين.

Maka yang sesuai sunnah pada kedua kaki adalah dengan merapakannya, berbeda dengan lutut dan kedua tangan (yang dibentangkan).”[1]

Kalangan ini berdalil dengan hadits -hadits berikut ini :



[1] Syarh al Mumthi’  (3/122)

Dari ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

“Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu malam ditempat tidur, lalu saya pun mencarinya dengan meraih-raihkan tanganku. Sehingga, tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan.” (HR Muslim)

Sisi pendalilannya adalah ada pada kalimat “tanganku menyentuh kedua kakinya”, karena bisa disentuh kedua-dua kaki Nabi shalallahu’alaihi wassalam  oleh tangan Aisyah menunjukkan bahwa kedua kaki beliau tersebut dirapatkan.

Dalil selanjutnya adalah :

 

 فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ مَعِى عَلَى فِرَاشِى ، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ

 “Aisyah istri Rasulullah berkata: Saya merasa kehilangan Rasullalah saw, padahal beliau beserta saya di tempat tidur saya, (kemudian saya mencari beliau) dan saya temukan Rasulullah sedang sujud dalam keadaan merapatkan dua tumitnya sambil menghadapkan ujung-ujung dua telapak kakinya ke arah kiblat. (HR. Ibnu Khuzaimah)

            Pada dalil yang kedua ini bahkan ada kalimat yang jelas dan tegas menyebutkan beliau shalallahu’alaihi wassalam merapatkan tumitnya.[3]

Kaki direnggangkan

Sedangkan mayoritas ulama berpendapat sebaliknya, bahwa ketika sujud kaki itu direnggangkan, bukan dirapatkan. Sebagian keterangan dengan seukuran kira-kira jarak satu jengkal.

A.   Kitab-kitab Syafi’iyah

 

Berkata al Imam Nawawi rahimahullah :

 

قال الشافعي والأصحاب : يستحب للساجد أن يفرج بين ركبتيه وبين قدميه . قال القاضي أبو الطيب في تعليقه : قال أصحابنا : يكون بين قدميه قدر شبر

“Berkata Syafi’i dan sahabat-sahabatnya : Disunnahkan bagi orang yang bersujud untuk membuka kedua lututnya dan antara kedua telapak kakinya. Dan berkata QadhiAbu Thayib di dalam penjelasannya : Berkata sahabat-sahabat kami hendaknya jarak antara kedua telapak kakinya seukuran sejengkal.”[4]

  Pernyataan yang sama juga disebutkan dalam kitab-kitab Syafi’iyah lainnya.[5]

B.    Kitab-kitab Hanabilah

Dari kitab bermadzhab Hanbali, kita dapatkan pernyataan al Al Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :

ويستحب أن يفرق بين ركبتيه ورجليه؛ لما روى أبو حميد قال: وإذا سجد فرج بين فخذيه غير حامل بطنه على شيء من فخذيه

“Dan dianjurkan untuk merenggangkan kedua lututnya dan kakinya, berdasarkan riwayat dari Abu Humaid dia berkata : Ketika sujud, ia merenggangkan kedua pahanya dan menjauhkan perut dari pahanya [6]

Juga disebutkan dalam al Iqna :

 

ويفرق بين ركبتيه ورجليه

“Dan hendaknya memisahkan antara lutut dan kakinya.”[7]

 

Keterangan yang sama juga bisa kita lihat dalam kitab Hanabilah lainnya.[8]

C.    Hanafiyah dan Malikiyah

 

      Dari madzhab ini tidak kami temukan bahasannya dalam kitab-kitabnya, yang ada adalah pernyataan atau klaim dari ulama lain, baik dari madzhab Syafi’i ataupun madzhab Hanbali. 

 Berkata Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim al Hanbali :

وتفريقه بين قدميه يسيرا في قيامه، وقيل يكون بين قدميه قدر شبر في ركوعه وسجوده، ومراوحته بينهما، وهو مذهب مالك والشافعي، وابن المنذر وغيرهم

 

“Dan hendaknya memisahkan antara kedua kakinya sedikit ketika berdiri, dan dikatakan juga ketika ruku’ dan sujud, ada jarak antara kedu kakinya, dan ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyyah, ibn Mundzir dan lainnya.”[9]

 

Dalil-dalilnya

 

1.     Hadits pertama :

وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

“Ketika sujud, ia merenggangkan kedua pahanya dan menjauhkan perut dari pahanya.” (HR. Abu Daud)[10]

Al imam Syaukani rahimahullah berkata, “Ungkapan ‘merenggangkan kedua pahanya’ maksudnya adalah merenggangkan antara kedua pahanya, kedua lututnya dan kedua telapak kakinya.”[11]

2.     Hadits kedua

ثُمَّ اعْتَدِلْ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ فَاعْتَدِلْ سَاجِدًا

“Kemudian tegak luruslah dalam keadaan berdiri, lalu sujud dan luruskan (sujudnya).” (HR. Tirmidzi)[12]

3.     Kesaksian riwayat Tabi’in atas cara shalat shahabat

Dari Uyainah bin Abdurrahman, seorang tabi’in berkata :

كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ

Aku pernah  bersama ayahku di masjid, Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam salat di masjid ini selama 18 tahun, dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini’.”[13] (HR Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, 2/109). 

Bantahan terhadap pendalilan yang merapatkan kaki

Berikut beberapa koreksi dan bantahan terhdapa pendalilan pendapat yang menyatakan bahwa dalam sujud kaki dirapatkan.

1.     Hadits yang shahih tidak menyebutkan adanya lafadz “Nabi merapatkan kaki”, sedangkan riwayat Ibnu Khuzaimah yang menyebutkan lafadz tersebut adalah hadits dhaif.

Beberapa ulama Saudi sendiri berkomentar tentang hadits ini, diantaranya Syaikh Bin Baz, ia berkata :

فهذا فيه نظر، الظاهر أنه شاذ ومخالف للأحاديث الصحيحة

"Hadis ini padanya terdapat kritikan. Yang nampak adalah ini riwayat yang aneh (lemah). Menyelisihi hadis-hadis yang shahih."[14]

2.      Rantai sanad dari hadits tersebut adalah : Ibn Khuzaimah, mendapatkan dari Ismail bin Ishaq dan Ahmad bin Abdullah dari Said bin Abi Maryam dari Yahya bin Ayyub dari Umarah bin Ghaziyah dari Abu Nadhr dari Urwah bin Zubeir dari Aisyah.

      Tentang rawi yang bernama Yahya bin Ayyub Ibnu Hajar dalam kitab beliau Tahdzibun Tahdzib ( 11/163) menyebutkan komentar beberapa ulama tentangnya yang banyak melemahkannya : Imam Ahmad berkata : hafalannya lemah, Ibnu Main berkata : shalih, tsiqah (kredibel) Ibnu Abi Hatim : jujur, hadisnya dapat ditulis tetapi tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), Ibnu Saad : munkarul hadist Daruquthni : di sebagian hadisnya ada ketumpangtindihan.

Kelemahan Yahya bin Ayub juga ditegaskan Ibnu Hazam dalam Al Muhalla (4/180), Al-Uqaily dalam Al-Dhu’afaa’ (4/391), dan  Ibnul-jauzi Al-Dhu’afaa’ (3/191).

3.     Sedangkan hadits shahihnya tidak menyatakan bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam merapatkan tumitnya. Penyimpulan beliau merapatkan tumit semata karena bisa dijangkau kedua kaki beliau oleh tangan Aisyah  mengandung ihtimalat ( kemungkinan kesimpulan yang lain).  Bisa jadi Aisyah menggunakan kedua tangannya, atau memang Aisyah karena meraba-raba menyentuh keduanya dan berbagai kemungkinan lain. Sehingga ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebagaimana disebutkan dalam kaidah :

مع الاحتمال يسقط الإستدلال

“Bersamaan dengan adanya kemungkinan-kemungkinan lain maka gugurlah cara pendalilan.

Sehingga walaupun hadist  yang ini statusnya shahih,  namun dalalahnya tidak sharih (tidak jelas).

Syaikh Al-Tharifi menyatakan : “Ucapan Aisyah bahwa tangannya menyentuh kedua kaki beliau shallallahu’alaihi wasallam, tidak menunjukkan bahwa kedua kaki beliau dirapatkan ketika sujud....Redaksi hadis tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil (bahwa beliau merapatkan dua kakinya) karena beberapa alasan : Bahwa Aisyah menyebutkan redaksinya dalam bentuk berlebihan, artinya bahwa ketika ia menyentuh satu kaki beliau, maka otomatis kaki beliau yang lain ada disebelahnya, walaupun ia tak menyentuhnya. Namun untuk lebih memberikan keyakinan, ia mengucapkannya “menyentuh dua kaki”, bukan “satu kaki’. Hal ini merupakan hal biasa (dalam ungkapan bahasa arab).[15]

Kesimpulan

Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah apa yang dipegang oleh mayoritas ulama, yakni posisi kaki ketika sujud kaki tidak dirapatkan, namun dalam keadaan renggang secara normal sebagaimana ini adalah posisi normal ketika seseorang berdiri dalam shalat.

Seandainya dalil-dalil yang menyebutkan renggangnya kaki ketika sujud tidak ada, maka masalah ibadah adalah dikembalikan ke hukum asal. Asalnya kaki saat shalat terbuka (renggang) tidak rapat, maka demikian keadaan seterusnya.

Wallahu a’lam


[1] Al Mughni (1/374), Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3,341), al Umm (1/137), Nail Authar (2/297), al Mubdi’ fi Syarh al Muqni (1/401).

[2] La jadid fi ahkami shalah (1/69).

[3] Selain Ibnu Khuzaimah hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Hibban (no.1933), Al-Hakim dalam Mustadrak (1/228), dan Al-Baihaqi dalam Sunan Kurba (2/116). Lewat Jalur Ibnu Abi Maryam, dari Yahya bin Ayyub, dari Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu Al-Nadhr, dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah. Dan hanya riwayat Ibnu Khuzaimah yang dengan tambahan lafadz : merapatkan dua tumitnya.

[4] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3/341), Raudhatut Thalibin (1/256).

[5] Mukhtashar Muzani hal. 107, al Hawi al Kabir (2/129), Nihayatul Muhtaj (1/516), Syarh al Muqadimah  al Hadramiyah (1/231), Nihayatuz Zain (1/69).

[6] Al Mugni (1/374).

[7] Al Iqna’ (1/21).

[8] Kasy al Qina’ (1/353), al Inshaf (2/69), al Furu’ (2/203), Mukhtashar Al Ifadat Wa Rub’ul Ibadat wal Adab (1/93).

[9] Hasyiah Raudh ak Mari’ (2/134).

[10] Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, menurut al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih, demikian juga yang dinyatakan oleh imam Baihaqi dalam sunan al Kubra (2/166).

[11] Nailul Authar (2/297)

[12] Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahih Ibnu Khuzaimah (1/274), Abu Dawud, Syarah Abi Dawud (4/53).

[13] Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, (2/109).

[14]  Fatawa Nurun 'ala ad-Darb (8/294).

[15] Shifat Shalat Nabi (hal.132)

0 comments

Post a Comment