SALAM SALAMAN SELESAI SHALAT

Afwan kiyai apakah salam -salaman setelah selesai shalat itu bid’ah ?

Jawaban 

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 

 Di beberapa masjid, memang kita melihat adanya aktifitas merutinkan bersalam-salaman seusai shalat lima waktu. Dimana mereka berdiri, kemudian berjalan melingkar untuk menyalami satu sama lain. Bagaimanakah hukumnya bersalaman dalam kondisi tersebut ? Atau dalam bentuk yang sederhana, ada sebgian orang begitu selesai dari shalatnya, ia mengulurkan tangan untuk berjbat tangan dengan jama’ah yang ada di kanan dan kirinya.

Bila ditanyakan apakah ada kesunnahan dan contoh langsung dari Nabi shalallahu’alaihi wassalam dan para shahabat dalam mengerjakan hal tersebut, maka jelas jawabannya  tidak ada. Hanya saja kemudian, tidak serta merta sebuah aktivitas yang merupakan kebiasan yang dibolehkan, bahkan disunnahkan kemudian dilakukan dengan cara tertentu langsung bisa dihukumi bid’ah. Bukankah berjabat tangan itu memang hukum asalnya sunnah ?

 

Karena ulama memang berbeda pendapat, apakah sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi - khususnya yang bertalian dengan ibadah tertentu- boleh dikerjakan ataukah tidak boleh. Tidak bolehpun apa hukumnnya masih terbagi menjadi dua, ada yang makruh dan ada yang haram.

 

Termasuk kasus bersalaman ketika selesai shalat yang sedang kita bicarakan. Nabi shalallahu’alaihi wassalam memang tidak pernah mengerjakannya, itu fakta.  Hanya saja, apakah sesuatu yang tidak dikerjakan beliau (perkara baru) dengan serta merta bisa digeneralisir sebagai bid’ah yang tercela ? Sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam sebuah hadits :“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru karena sesungguhnya semua bid’ah adalah sesat.” ( HR. Ahmad) 

Sekelompok kecil ulama cendrung berpegang kepada dzahir hadits yaitu menganggap semua bid’ah adalah tercela, Mereka adalah Imam Malik dan sebagian ulama pengikut mazhabnya.  Dan ada pula dari kalangan mazhab Hanbali dan Hanafi yaitu  Ibnu Rajab, Ibnu Taimiyah dan ibnul Qoyyim, Asy-Syathibi dan  Asy-Syumunni.

 

Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama madzhab cendrung masih memilah–milah dengan membedakan adanya perkara baru yang baik dan ada yang buruk (bid’ah hasanah dan sayyi,ah).

Di antara para ulama yang menyatakan dengan tegas masalah ini  antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi''i dan jumhur ulama syafi’iyyah seperti Al-''Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah, Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali, Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany dan lainnya. Dari madzhab Hanafiyah : Al-Kirmani, Ibnu Abidin, at-Turkmani, al-`Aini dan at-Tahanawi Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. 

Dari mazhab Maliki : At-Turtusyi, Ibnul-Hajj, al-Qarafi dan az-Zurqani. Dan dari mazhab hanbali yaitu  : al imam Ibn jauzi. 

Dan bab bid’ah ini perlu pembahasan tersendiri. 

Pandangan ulama dalam menghukumi boleh tidaknya bersalaman selesai shalat. 

Dari pembahasan diatas, terang saja para ulama kemudian berbeda pendapat tentang hukum salam-salaman di waktu selesai shalat. Sebagian menghukumi sebagai hal yangdisunnahkan, sebagian menghukumi mubah, sedangkan yang lain menganggapnya sebagai perkara yang dibenci (dibenci). Disebutkan dalam al Mausu’ah :

 

وقد اختلف فقهاء المذاهب في حكم المصافحة عقب الصلوات وبخاصة صلاتي العصر والصبح ويظهر من عباراتهم أن فيها ثلاثة أقوال: قول بالاستحباب، وآخر بالإباحة، وثالث بالكراهة

“Dan para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum bersalam-salaman selepas shalat, khususnya pada waktu shalat Ashar dan Shubuh, dan yang nampak dari penjelasan mereka ada tiga pendapat : Sebagian mensunnahkan, sedangkan sebagian membolehkan dan ada pula yang memakruhkan.”[1]

Karenanya dalam bahasan, saya hanya membagi menjadi dua kelompok pendapat, yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Dan berikut ini pendapat dua kelompok ulama dan imam kaum muslimin yang nama besar mereka sudah cukup menjadi jaminan kualitas pandangan dan keilmuannya.

 

1.       Kelompok ulama yang membolehkan

Mayoritas ulama dari berbagai madzhab umumnya membolehkan salam-salaman setelah selesai shalat, mari kita simak fatwa-fatwanya :

Pendapat yang kuat di tengah-tengah ulama madzhab Hanafiyah adalah bahwa bersalaman setelah selesai shalat hukumnya dibolehkan. Berkata Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah :

 

 والراجح عند الحنفية جواز المصافحة مطلقاً ولو بعد الصلوات.

 

“Dan yang rajih menurut Hanafiyah adalah bolehnya bersalam-salaman secara mutlak meskipun setelah selesai shalat.”[2]

 

Berkata al imam Ibnu Abidin rahimahullah :

 

ونقل مثله عن الشمس الحانوتي، وأنه أفتى به مستدلا بعموم النصوص الواردة في مشروعيتها وهو الموافق لما ذكره الشارح من إطلاق المتون

 

“Dan dinukilkan pendapat semisal dari Samsu al Hanutiy bahwa beliau berfatwa dengannya (akan kebolehannya) berdalil dengan keumuman dalil yang disebutkan dalam hadits-hadits akan disyariatkannya (bersalam-salaman), dan ini juga bersesuaian dengan apa yang disebutkan oleh pensyarah di sejumlah matan secara mutlak.”[3]

 

Berkata al Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalamrah rahimahullah :  

أن المصافحة عَقِيبَ الصبح والعصر من البدع المباحة

“Adapun bersalam-salaman setelah selesai dari shalat Shubuh dan Ashar adalah termasuk dari jenis bid’ah yang dibolehkan.”[4]

Beliau rahimahullah juga berkata : 

والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.

 

Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat  berupa  makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,   melebarkan pakaian  kebesaran ulama,  dan melebarkan lengan baju.”[5] 

Imam An Nawawi rahimahullah beliau berkata : 

واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها

  “Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam setiap ada perjumpaan. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat shubuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena  pada dasarnya  bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.”[6]

 

Berkata al Imam Ibnu Hajar al Haitami rahimahullah :

ولا أصل للمصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر ولكن لا بأس بها فإنها من جملة المصافحة، وقد حث الشارع عليها

“Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu tercakup oleh makna umum dari bersalaman, dan pembuat syariat (Allah) telah menganjurkan atas hal itu.”[7]

Imam Syihabuddin Ar Ramli  rahimahullah berkata :

 

ما يفعله الناس من المصافحة بعد الصلاة لا أصل لها ولكن لا بأس بها 

“Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak  mengapa.”[8]

Selain hadits-hadits umum yang menganjurkan bersalaman, sebagian ulama Syafi’iyyah juga berdalil dengan hadits berikut ini dalam menyatakan bolehnya bersalahan setelah selesai shalat : 

Dari Abu Juhaifah Radhiallahu’anhu, ia berkata :

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan Nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari)

Dan hal yang serupa juga dinyatakan di hampir semua kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i lainnya.[9]

2.       Kelompok ulama yang melarang

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa meskipun bersalaman itu hukumnya sunnah saat berjumpa, namun ketika dikhususkan dengan dilakukan setelah selesai shalat hukumnya makruh apalagi dilakukan secara terus menerus. Hal ini karena bisa membuat sebagian orang mengira bahwa itu adalah kesunnahan khusus setelah selesainya shalat berjama’ah.[10]

 

Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah :  

المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة؛ بل هي بدعة

 “…Bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.”[11]

            Imam Ibnu Al Hajj Al Maliki rahimahullah berkata :

هذه المصافحة من البدع التي ينبغي أن تمنع في المساجد ، لأن موضع المصافحة في الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات الخمس

“Bersalaman ini termasuk bid’ah-bid’ah yang mesti dilarang terjadi di masjid, karena tempat bersalaman menurut syariat adalah hanyalah pada saat bertemunya seorang muslim  dengan saudaranya, bukan pada saat selesai shalat lima waktu.”[12]

Kesimpulan

Demikian, tentang khilafiyah  diantara para ulama tentang hukum berjabat tangan yang di khususkan setelah selesai shalat. Semoga kita diberikan kearifan dalam bertindak. Wallahu a’lam. Sebagai penutup kita simak nasehat dari Syaikh Athiyah Shaqr ( ulama Azhar dan mantan Mufti Mesir) berikut ini :

والوجه المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….

 “Pendapat yang dipilih adalah bahwa bersalaman setelah selesai shalat tidaklah haram, bahkan ini telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. …[13]

 

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (37/362).

[2] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (4/2661).

[3] Ad Darr al Mukhtar wa Hasyiah Ibn Abidin (6/381).

[4] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3/488)

[5] Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam (2/173).

[6] Raudhatuth Thalibin (7/438), al Adzkar hal. 262.

[7] Tuhfatul Muhtaj (9/230).

[8] Fatawa Ar Ramli (1/385)

[9] Mughni al Muhtaj (6/18), Asna al Mathalib (4/187), Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (4/633), Al Hasyiah Bujairami ‘ala Khatib (1/426).

[10] Radd al Mukhtar (6/373).

[11] Majmu’ Fatawa, (23/339)

[12] Radd al Mukhtar (26/438), Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (37/363). 

[13] Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah (8/477)

 

0 comments

Post a Comment