IKHTILAF MATHALI’ DALAM MADZHAB SYAFI’I

(Bagian satu)

            Di tulisan kali ini dan beberapa tulisan selanjutnya, saya akan membahas secara berseri tentang konsep ikhtilaful Mathali’menurut madzhab syafi’i. Saya buat menjadi beberapa seri agar lebih mudah untuk dicerna dan tidak memberatkan siapapun  alias membosankan untuk dibaca karena terlalu panjang.

Meskipun saya nanti dalam tulisan ini menyertakan pendapat dari madzhab lainnya, itu semata-mata untuk menguatkan bahasan. Saya hanya akan focus di pendapat madzhab Syafi’i saja agar tidak melebar kemana-mana. Genre tulisan perlu saya sampaikan supaya tidak ada yang salah paham, mengapa kali  ini saya agak berbeda, biasanya bahasannya mengetengahkan pendapat empat madzhab secara seimbang, koq tiba-tiba berubah jadi syafi'i orientit. Apalagi sampai ada yang gagal paham menuduh saya menyalahkan pendapat yang berbeda dari madzhab syafi'i.

  Juga agar tujuan saya menulis dalam rangka menjawab kesalahpahaman atau kebingungan sebagian orang tentang konsep ikhtilaful mathali menurut madzhab mayoritas muslim di Indonesia ini, bisa tercapai dengan baik.

Karena ketika saya mempostkan beberapa tulisan sebelumnya, ada kalimat yang bernada belum paham, tidak paham atau sebagian  bahkan gagal paham, semisal kalimat :

(1) Bulannya sama, Tuhannya sama, agamanya sama, nabinya juga sama, koq hari rayanya berbeda ?

(2) Sebenarnya beda-beda mathla’ ini mengikuti madzhab Syafi’i  atau keputusan negara ?

(3) Bukankah kalau mau konsisten dengan madzhab Syafi’i, seharusnya wilayah seluas Indonesia harusnya dibagi-bagi  menjadi banyak mathla’ ?

(4) Masalah mathla’ ini sebenarnya murni masalah fiqih atau politik sih ?

(5) Koq repot amat sih. Kan tinggal mengikuti Arab Saudi selesai !

Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat serupa. Saya sampai lupa sangking banyaknya. Silahkan ditambahkan di kolom komentar jika dianggap penting, jika beruntung akan saya bahas insyaallah. Saya akan jawab satu persatu, sesuai tema pertanyaan tentunya. Supaya semua bisa menjadi jelas, gamblang dan kita bisa legowo menyikapi perbedaan khilafiyah mu’tabarah seperti ini.

Ya kalaupun tidak bisa paham sepenuhnya, minimal supaya jelas terbedakan mana yang tidak paham sama yang nggak mau memahami, juga bisa terpilah antara yang bingung dan yang suka bingung sendiri...

Kan yang tidak paham tinggal dipahamkan, yang bingung tinggal ditenangkan. Sedangkan yang cuma mau dipahami tapi tidak mau memahami, atau yang cuma pengen membingungkan umat dengan opininya, biarkan saja mereka diurus sama yang punya Syariat.

Dan sebelum menjawab pernyataan dan pertanyaan diatas. Kita back to basic dulu, memahami apa itu mathla’, hilal, rukyat dan mengapa ulama sampai berbeda pendapat ? Apa dalilnya masing -masing khususnya madzhab syafi'i hingga berani berbda dengan jumhur dan seterusnya. Saya akan membagi tulisan ini menjadi 10 seri, semoga Allah mudahkan.

Tak usah berlama-lama, mari kita langsung masuk kebahasannya point demi point. Cekidot !

Definisi Mathla’

Mathla’ (‌مطلع) berasal dari kata طلع yang artinya adalah muncul atau terbit. Mathla’ secara bahasa berarti :

موضع الطلوع أو الظهور

“Tempat terbit atau nampak.”

Seperti dalam kalimat firman Allah ta’ala :

حَتَّى إِذَا بَلَغَ ‌مَطْلِعَ الشَّمْسِ

“Hingga ketika dia sampai di tempat terbitnya matahari.” (QS. Al Kahfi : 90)

Jama’ dari kata Mathla’ adalah Mathali’. Dan secara istilah tidak keluar dari pengertian bahasa diatas, yakni Mathla’ adalah :


موضع الطلوع أو الظهور، ويقصد به - هنا - موضع طلوع الهلال من الغرب

“Tempat muncul atau nampak – dan yang dimaksud di sini adalah – tempat terbit hilal di waktu maghrib.”[1]

Istilah rukyat dan hilal

Kata yang juga lekat dengan istilah mathla’ yang pertama adalah rukyat. Secara bahasa rukyat adalah menemukan sesuatu lewat penglihatan. Dan dalam konteks ini, rukyat adalah :

معاينته ومشاهدته بالعين الباصرة بعد غروب شمس اليوم التاسع والعشرين من الشهر السابق ممن يعتمد خبره وتقبل شهادته، فيثبت دخول الشهر برؤيته

“Penjelasan dan Persaksian melalui penglihatan mata setelah terbenamnya matahari pada hari ke dua puluh sembilan dari bulan sebelumnya, dari seseorang  yang bisa dipegang (dipercaya) beritanya dan kesaksiannya, dan ditetapkan masuknya bulan baru dengan sebab rukyatnya.”[2]

Sedangkan pengertian hilal adalah nama bulan dalam keadaan tertentu. Yang terkadang disitilahkan :

ما يرى من المضيء من القمر أول ليلة

 

“Apa yang telah terlihat dari cahaya bulan diawal malam (suatu bulan baru)”.[3]

Sehingga dapat disimpulkan hubungan tiga kata diatas antara Mathla’, rukyat dan hilal adalah sebagai berikut :  Rukyat itu adalah aktivitas untuk melihat hilal di tempat terbitnya (mathla’).

Konsep wihdatul Mathali’ dan i’khtilaful Mathali’

Kita tahu bahwa tempat atau wilayah di bumi ini antara satu sama lainnya terjadi perbedaan waktu. Ada yang hanya beda beberapa menit, ada yang hingga beberapa jam, bahkan ada yang berbeda keadaan yang satu wilayah mengalami siang dan yang lain mengalami waktu malam hari.

Dari situlah kemudian ulama menjadi berbeda pendapat, apakah mathla’ hilal bulan baru itu cukup mengacu kepada satu tempat atau berbeda-beda sesuai tempat yang waktunya juga berbeda-beda. Sebagian ulama memegang konsep satu mathla’, inilah yang diistilahkan dengan wihdatul mathali’, sedangkan ulama yang lainnya berpegang kepada konsep berbeda-beda tempat hilal atau diistilahkan dengan ikhtilaful mathali’.

Bersambung...



[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (38/110).

[2] Hasyiah Ibn Abidin (2/90).

[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (42/297).

 

0 comments

Post a Comment