KAFARAT JIMA’ KETIKA SEDANG PUASA

Izin bertanya UStadz, bagaimana hukumnya puasa sunnah kemudian berhubungan suami istri, apakah wajib untuk membayar kafarat juga ?

Jawaban

Tidak wajib membayar kafarat (tebusan) bagi pasagan suami istri yang berjima’ di siang hari saat puasa, selain puasa Ramadhan menurut mayoritas ulama.[1] Bahkan disebutkan dalam al Mausu’ah Fiqhiyyah bahwa ini adalah kesepakatan ulama madzhab :

ولا تجب الكفارة بالجماع عمدا في صوم غير ‌رمضان وهذا باتفاق

“Tidak wajib kafarat bagi jima’ yang disengaja di siang hari puasa selain Ramadhan menurut kesepakatan ulama.”[2]

Madzhab Hanafi

Berkata as Sarkhasiy rahimahullah :

لأن وجوب ‌الكفارة بالنصوص والنصوص وردت بالفطر في رمضان والفطر في ‌غير ‌رمضان ليس في معنى الفطر في رمضان من كل وجه

“Karena sesungguhnya wajibnya kafarat seacara aturan adalah berkaitan dengan batalnya di saat puasa Ramadhan, sedangkan batalnya puasa di selain Ramadhan tidak bisa disamakan dengan Ramadhan dari sisi manapun.”[3]

Keterangan yang hampir sama juga disebutkan dalam kitab-kitab Hanafiyah lainnya.[4]

Madzhab Maliki

Berkata al Kadri rahimahullah :

ولا تجب ‌الكفارة في ‌غير ‌رمضان

“Dan tidak wajib membayar kafarat untuk selain (puasa) Ramadhan...”[5]

Keterangan yang sama juga disebutkan dalam kitab-kitab Malikiyah lainnya.[6]

Madzhab Syafi’i

Berkata al Imam Ibnu Hajar al Haitami rahimahullah :

ولا كفارة على من فقد فيه شرط من ذلك نحو ناس ومكره ...ولا على مفسد صوم غير ‌رمضان من نذر أو قضاء أو كفارة؛ لأن النص ورد في رمضان وهو لاختصاصه بفضائل

“Dan tidak ada kafarat bagi yang tidak terpenuhinya syarat seperti lupa, dipaksa atau karena tidak tahu... dan tidak ada pula bagi yang  rusak puasanya selain puasa Ramadhan seperti puasa nadzar, atau qadha’ atau kafarat. Karena aturan itu berlaku hanya untuk puasa Ramadhan karena kekhususan keutamaannya.”[7]

Keterangan yang sama juga disebutkan dalam kitab-kitab syafi’iyyah lainnya.[8]

Madzhab Hanbali

Berkata al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah :

ولا تجب ‌الكفارة بالفطر فى ‌غير ‌رمضان، فى قول أهل العلم وجمهور الفقهاء

“Dan tidak wajib membayar kafarat untuk batalnya puasa selain Ramadhan, menurut pendapat para ulama dan mayoritas ulama.”[9]

            Keterangan yang serupa juga dinyatakan dalam kitab-kitab Hanabilah lainnya.[10]

Dalilnya adalah bahwa riwayat dalam hadits tentang permasalahan ini adalah khusus tentang puasa Ramadhan, tidak untuk puasa lainnya.

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا ». قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ ». قَالَ لاَ فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا ». قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُ صلى الله عليه وسلم ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم  بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

“Suatu hari kami pernah duduk-duduk bersama Nabi shallallahu‘alaihi wasallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau seraya berkata :Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu‘alaihi wasallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.”

Kemudian Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”.

Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu‘alaihi wasallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada beliau. Kemudian Nabi shallallahu‘alaihi wasallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.

Kemudian beliau Bersabda :Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.

Mendengar itu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari Muslim)

Wallahu a’lam.

 


[1] Fiqh al Islami wa Adilatuhu (3/1730).

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (16/56).

[3] Al Mabsuth (3/76).

[4] Al Hidayah (1/122), Fath al Qadir (2/341), al Banayah Syarh al Hidayah (4/63).

[5] Jami’ al Ummahat hal. 175.

[6] Hasyiah ash Shawi (1/707), Hasyiah al Adawi (1/452), Syarh al Kabir (1/541).

[7] Tuhfatul Muhtaj (3/447)

[8] Hasyiah Qulyubi (2/89), Hasyiah al Jamal (2/345), I’anah ath Thalibin (2/270), Nihayatul Muhtaj (3/158),

[9] Al Mughni (4/378).

[10] Al Kafi (1/446), Syarh al Kabir (3/64), Kasyful Qina (2/331), al Mabadi’ fi Syarh al Muqni’ (3/209).

 

0 comments

Post a Comment