SHALAT DENGAN MEMBAWA NAJIS

Ustadz, apa hukumnya shalat dengan memakai pempers. Apakah shalatnya tersebut sah ?

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Maksud dari pertanyaan ini sebenarnya adalah : Aapa hukum shalat dengan bagian tubuh ada najisnya, dan itu susah untuk dihilangkan sebab sakit atau kedaruratan lainnya. Semisal darah pada perban di bagian yang luka, atau memakai keteter urine dan termasuk yang sedang ditanyakan memakai pempers.

Jadi kasus yang ditanyakan tentu bukan tentang memakai pempersnya, karena kalau memakai pempers tapi tidak ada najis yang keluar itu sudah pasti sahnya. Lagian aneh juga, ngapain coba pakai pempers kalau tidak ada masalah ?

 Atau ada yang sengaja memakai pempers lalu dia pipis disitu, padahal kondisinya sehat wal afiat dan tanpa adanya udzur, alasan utamanya pakai pempers hanya karena sedang males ke belakang. Maka jelas shalat orang aneh seperti ini tidak sah.

Kembali kepertanyaan, jika ini benar kondisi darurat, maka dengan adanya kedaruratan beberapa hukum syariat akan menjadi longgar baginya. Yang tidak boleh bisa menjadi boleh. Ini sesuai dengan kaidah fiqih :

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات

“Kondisi darurat, membolehkan hal-hal yang terlarang”.

Diantara dalil kaidah ini adalah, firman Allah ta’ala dalam surah al Maidah ayat 3 :

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Namun tentunya, kedaruratan ini ada aturan dan batasannya. Dan itu memang dijelaskan dalam ilmu fiqih oleh para ulama. Jangan sampai mentang-mentang alasan kondisi darurat, kemudian seseorang bisa berbuat semaunya melanggar larangan agama karena dianggap sudah menjadi  halal. Sehingga kemudian ada kaidah lainnya yang berbunyi :

الضرورة تقدر بقدرها

“kedaruratan itu dikukur berdasarkan kadarnya.”

Namun bukan tempatnya kami membahas atau menerangkan tentang kaidah ini.

Cara shalat untuk orang yang sering keluar hadats / najis

Dalam menggunakan udzur dalam kasus ini, bisa dengan memperhatikan tahapan berikut ini :

Pertama

Jika masih memungkinkan dan tidak memberatkan shalat dengan kondisi normal, maka hendaknya shalat seperti biasa. Manfaatkan waktu beberapa menit di mana najis tidak keluar untuk segera mengerjakan shalat. Jika setelah shalat pempers bisa dikenakan kembali. Dan nanti ketika akan shalat, pempers dilepas, bagian yang terkena najis disucikan lalu kembali shalat seperti biasa.

Kedua

 Jika solusi dengan cara pertama tidak bisa dilakukan. Entah karena lemahnya badan, atau najis yang sudah tidak terkontrol saat keluarnya, maka langkah selanjutnya adalah : Diupayakan suci diawal shalatnya saja.

Yakni ketika akan shalat bersuci seperti biasa. Memakai pempers yang masih bersih (baru), berwudhu setelah masuknya waktu, lalu shalat seperti biasa. Dan nanti ketika akan shalat lagi dilakukan lagi pembersihan atau bersuci kembali.

Hal ini diqiyaskan kepada cara shalat wanita yang sedang istihadhah. Dalam hadits disebutkan :

فإن قويت على أن تؤخري الظهر وتعجلي العصر ثم تغتسلين حين تطهرين وتصلين الظهر والعصر جمعاً، ثم تؤخرين المغرب وتعجلين العشاء ثم تغتسلين وتجمعين بين الصلاتين فافعلي

Jika kamu sanggup, lakukan hal berikut : akhirkan shalat dzuhur dan segerakan shalat asar di awal waktu. Kamu mandi kemudian shalat dzuhur dan asar dijamak. Kemudian kamu akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya di awal waktu, kemudian kamu jamak dua shalat itu…dst.” (HR. Turmudzi)

Ketiga

            Jika cara di atas juga tidak bisa dilakukan. Maka ini sudah di tingkat darurat paling berat, shalat bisa dilakukan dalam kondisi apa adanya. Dengan ketentuan ia berwudhu untuk shalat hanya ketika telah masuk waktu.

            Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah menukil pendapat syafi’iyyah dengan berkata :

يفعل كل ذلك بعد دخول وقت الصلاة، لأنه طهارة ضرورة، فلا تصح قبل الوقت كالتيمم

“Dia mengerjakan itu semua (bersuci) adalah setelah masuknya waktu shalat. Hal ini karena bersucinya dia adalah sebab darurat. Tidak sah sebelum waktunya seperti halnya tayamum.”[1]

Hanya dalam madzab syafi’i jika nanti telah sehat seperti sediakala, diharuskan untuk mengqadha atau mengganti shalat-shalat tersebut. Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

‌فإذا ‌كان ‌على ‌بدنه ‌نجاسة ‌غير ‌معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب أن يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال " وإذا أمرتكم بشئ فاتوا منه ما استطتم "

Jika di badan seseorang  terdapat najis yang tidak dimaafkan, dan dia tidak kuasa untuk menghilangkannya, maka ia tetap wajib shalat dengan keadaan untuk menghormati waktu shalat....”[2]

 

Sedangkan menurut kalangan Hanabilah, dari kondisi pertama, kedua apalagi yang sudah ketiga- untuk lebih meringankan beban - seseorang sudah boleh mengerjakan shalat dengan cara  dijama’. Berkata al imam Ibnu Qudamah rahimahullah :

وكذلك يجوز الجمع للمستحاضة ولمن به سلس البول ومن في معناهما لما روينا من الحديث

“Demikian pula dibolehkan bagi wanita mustahadhah, atau orang yang punya penyakit beser dan yang sejenis dengannya untuk melakukan jamak, berdasarkan hadis yang kami bawakan.”

Demikian. Wallahu a’'lam.

 



[1] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (1/447)

[2] Majmu’ Syarah al Muhaddzab (1/136).

 

0 comments

Post a Comment