MADINAH MENJADI TOLAK UKUR BENAR DAN SALAH ?

oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Tentu tidak ada seorang muslimpun yang mengingkari kemuliaan, keagungan dan keutamaan kota Madinah. Negeri tempat Nabi berhijrah sekaligus di makamkan. Yang di dalamnya ada masjid Nabawi dengan segala keutamaannya.

Namun, ada sebuah hadits yang berkaitan dengan keutamaan Madinah yang sering disalahpahamkan oleh sebagian pihak, yang mana mereka mengklaim bahwa kebenaran pendapat bahkan kelompok bisa diukur dengannya. Hadits tersebut adalah :

إن الإيمان ليأرز إلى المدينة كما تأرز الحية إلى جحرها

“Sesungguhnya keimanan akan bersarang ke Madinah sebagaimana ular bersarang ke dalam lubangnya (sarangnya).” (HR. Bukhari  dan Muslim)

Tentu kualitas hadits ini tidak perlu dibahas lagi, karena merupakan hadits shahih yang mutafaqun ‘alaih.  Yang perlu dijelaskan adalah kesalahpahaman dalam memahami hadits tersebut. Sehingga memunculkan sikap pongah dan superior sebagian kelompok karena merasa pendapat yang dia ikuti sama dengan yang diikuti oleh penduduk Madinah.

Para ulama sepanjang generasi dari berbagai negeri Islam senantiasa beradu argumen dan dalil untuk mencari kebenaran. Lahir madzhab dan keilmuan yang terlibat debat dan diskusi hangat untuk saling menguji satu sama lain, baik  ulama yang tinggal di Hijaz,  Iraq, Syam, Yaman, Mesir bahkan Andalusia. Tak pernah terdengar sekalipun adanya ulama yang menggunakan dalil di atas untuk mengatakan “Pokoknya yang benar paham yang ada di Madinah.”

Pernyataan lucu, aneh dan sangat membagongkan semisal yang ada pada Flayer yang kami sertakan baru muncul di zaman akhir ini. “Jangan bingung. Apabila Islam sudah membingungkan, tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil, carilah Islam di Madinah.” Subhanallah. Sendi-sendi keilmuan yang dibangun oleh para ulama ribuan tahun “runtuh” oleh keluguan orang-orang ini.

Apa mereka ini tidak sedang merasa bahwa cara dia mengiklankan pemahaman kelompoknya den gan membelokkan makna hadits tersebut itu sangat norak banget ? Apakah mereka tidak sadar bahwa sepanjang generasi Islam, madzhab dan kelompok yang berbeda-beda telah silih berganti diikuti oleh penduduk Madinah ? Kalaupun kemudian hadits itu hendak dipaksa untuk dimaknai secara dzahir, tetap yang dimaksud adalah pemahaman umum kaum musliminyakni  ahlussunnah wal Jama’ah, bukan madzhab apalagi kelompok tertentu.

Ah sudahlah, dari pada melebar kemana-mana, kita langsung simak penjelasan para ulama tentang hadits tersebut.

 

 

1.     Hanya berlaku di masa Nabi dan qurun terbaik setelahnya

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini sifatnya khusus berlaku di masa kenabian. Diantara yang berpendapat demikian adalah al imam Abu Daud rahimahullah :

كان هذا في حياته -صلى الله عليه وسلم، ‌والقرن ‌الذي ‌كان ‌منهم، ‌والذين ‌يلونهم، ‌والذين ‌يلونهم ‌خاصّة

“Adalah ini berlaku di masa ketika masih hidupnya Nabi shalallahu’alaihi wassalam dan qurun setelahnya dan setelahnya lagi.”[1]

2.     Untuk Madzhab ahlul Madinah

Berkata imam al Qurthubi rahimahullah :

فيه ‌تنبيه ‌على ‌صحة ‌مذهب ‌أهل ‌المدينة وسلامتهم من البدع، وأن عملهم حجة، كما رواه مالك

“Hadits tersebut menjadi tanda kebenaran Madzhab Ahli Madinah dan mereka steril dari bid’ah serta amalan mereka adalah hujjah, seperti pendapat yang dipegang oleh Imam Malik.”[2]

Yang dimaksudkan madzhab Ahli Madinah adalah pendapat yang dipegang oleh para shahabat yang kala itu menetap di Madinah. Bukan mazhab penduduk Madinah setelahnya apalagi hari ini. Karena itulah imam Ibnu Hajar menjelaskan maksud imam Qurthubi di atas dengan mengatakan :

وهذا إن سلم اختص بعصر النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء الراشدين ‌وأما ‌بعد ‌ظهور ‌الفتن ‌وانتشار ‌الصحابة ‌في ‌البلاد ‌ولا ‌سيما ‌في ‌أو ‌اخر ‌المائة ‌الثانية وهلم جرا فهو بالمشاهدة بخلاف ذلك

Pernyataan ini kalau benar, maka ia adalah khusus di masa Nabi shalallahu’alaihi wassalam dan masa khalafaur Rasyidin. Adapun setelah terjadinya fitnah dan para shahabat tersebar di berbagai negeri, khususnya di akhir abad kedua Hijriyah dan setelahnya, yang terjadi malah sebaliknya.”[3]

3.     Dimaknai  berduyun-duyunnya manusia ziarah ke Madinah

Sebagian ulama lainnya memaknai hadits diatas sebagai sebuah majaz, yakni akan banyak prang-orang beriman yang pergi ke Madinah untuk mengunjungi masjid Nabawi dan berziarah ke kubur Nabi. Berkata imam Nawawi rahimahullah :

ثم ‌بعد ‌ذلك ‌في ‌كل ‌وقت ‌إلى ‌زماننا ‌لزيارة ‌قبر النبي صلى الله عليه وسلم والتبرك بمشاهده وآثاره وآثار أصحابه الكرام فلا يأتيها إلا مؤمن

“Kemudian di masa-masa berikutnya sampai zaman kita sekarang ini (Masa imam Nawawi), kaum muslimin silih berganti berziarah ke al-Madinah, untuk datang ke kubur Nabi, bertabarruk dengan napak tilas tempat-tempat yang menjadi bekas beliau dan para shahabatnya yang mulia.  Dan tidak ada yang datang ke sana kecuali oraang beriman.”[4]

4.     Orang mukmin akan selalu rindu Madinah

Sebagian ulama lainnya memaknai hadits ini sebagai gambaran kecintaan orang beriman kepada kota Madinah. Sebagaimana ular adalah hewan yang gesit dan bersegera jika ia ingin kembali ke lubangnya, orang mukmin juga akan bersiap-siap dan bergegas ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Madinah. Berkata Ibnu Battal rahimahullah :

فيه أن المدينة لا يأتيها إلا المؤمن، وإنما يسوقه إليها إيمانه ومحبته فى النبى صلى الله عليه وسلم ‌فكأن ‌الإيمان ‌يرجع ‌إليها ‌كما ‌خرج ‌منها أولا، ومنها ينتشر كانتشار الحية من جحرها، ثم إذا راعها شىء رجعت إلى جحرها

“Hal ini karena memang Madinah tidak akan di datangi kecuali oleh orang beriman. Mereka merindukan Madinah karena keimanan dan kecintaan kepada Nabi shalallahu’alaihi wassalam. Dan sebagaimana iman kembali ke Madinah sebagaimana ia pernah keluar berasal dari Madinah di awal (dakwah). Darinya tersebar dakwah sebagaimana ular keluar dari lubangnya dan ketika terancam juga kembali ke dalamnya.”[5]

Yang disalahpahamkan

Tidak ada satupun ulama yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil bahwa kelompok atau madzhab pemahaman yang ada di Madinah yang lebih unggul dari yang lain, apalagi sampai mengklaim pemahaman yang ada di sana lebih benar dari yang lain.

Demikian juga menjadikan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya tentang keutamaan kota Madinah sebagai “dalil” sebaiknya berguru dan mengambil ilmu itu dari alumni-alumni Madinah jelas kengawuran tingkat tinggi.

Jika logikanya demikian, mengapa para ulama dahulu repot-repot ada yang keliling ke berbagai negeri-negeri Islam untuk menimba ilmu dari berbagai ulama di tempat tersebut. Ya kan haditsnya jelas itu, dan tentu ulama di masa itu jauh lebih berilmu dari ulama-ulama hari ini.

Yah untung saja makhluk-makhluk seperti ini telat lahir, kalau mereka hidup di masa itu, pasti ulama seperti imam Syafi’i akan ditahdzir oleh mereka karena keluar dari Madinah dan melanjutkan belajar ke Kufah. Begitu juga nasib para muhaditsin yang lain akan dianggap menyimpang karena malah memilih negeri lain sebagai tempat untuk mengambil hadits.

Tapi karena ulama itu tahu dalil dan juga tahu cara menggunakan dalil, mereka tidak pernah memaknai hadits dengan semaunya sendiri. Termasuk dalam masalah ini.  Karena itulah al imam Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata :

وإن ‌كان ‌المراد ‌استمرار ‌ذلك ‌لجميع ‌من ‌سكنها ‌في ‌كل ‌عصر ‌فهو ‌محل النزاع ولا سبيل إلى تعميم القول بذلك لأن الأعصار المتأخرة من بعد زمن الأئمة المجتهدين لم يكن فيها بالمدينة من فاق واحدا من غيرها في العلم والفضل فضلا عن جميعهم بل سكنها من أهل البدعة الشنعاء من لا يشك في سوء نيته وخبث طويته كما تقدم والله أعلم

“Jika yang dimaksud adalah berlakunya keutamaan ini bagi seluruh penduduk Madinah sepanjang zaman, maka inilah yang menjadi titik tengkar sebenarnya. Tidak ada alasan yang dibenarkan untuk mengatakan demikian, sebab zaman belakangan setelah zaman para imam mujtahid tidak ada lagi di Madinah orang yang menandingi seorang pun dari generasi selain itu dalam hal ilmu dan keutamaan, apalagi seluruh penduduk Madinah. Bahkan, Madinah pernah ditempati oleh Ahli Bid’ah Tercela yang tidak diragukan lagi kebusukan niat dan kejahatan akhlak mereka.”[6]

 

Wallahu a’lam



[1] Syarh Zarqani (12/250)

[2] Al Ihsan fi at Taqrib fi shahih Ibnu Hibban (9/45)

[3] Fath al Bari ( 4/94)

[4] Syarah Muslim li Nawawi (2/177)

[5] Syarah Ibnu Batthal (4/548)

[6] Fathul Bari (13/312)

 

0 comments

Post a Comment