HUKUM UPAH UNTUK MUADZIN

Afwan kiyai, bagaimana pendapat sebenarnya dari ulama madzhab tentang mengambil upah untuk seorang muadzin, apakah itu dibolehkan dalam Islam ? Karena rasanya koq nggak nyaman beribadah dibayar.

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Pada prinsipnya, ibadah itu hanya dibolehkan mengharap pahala dan karunia dari Allah ta’ala semata, tidak boleh digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dari makhluk berupa pujian, sanjungan, bantuan dan termasuk bayaran. Tentu hal ini sudah sangat ma’fum adanya. Allah ta’ala berfirman :

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ

 Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama...” (QS. Al Bayinah : 5)

Disebutkan dalam al Mausu’ah Fiqhiyyah :

وَالأَصْلُ أَنَّ كُلَّ طَاعَةٍ يَخْتَصُّ بِهَا الْمُسْلِمُ لا يَجُوزُ الاسْتِئْجَارُ عَلَيْهَا

Pada dasarnya setiap ketaatan yang secara khusus harus dilakukan oleh seorang muslim tidak boleh digunakan untuk sarana  mencari upah.”[1]

Namun yang juga menjadi bahan pertimbangan adalah bahwa ada sisi-sisi ibadah khususnya yang dilakukan secara bersama oleh kaum muslimin yang harus dijalankan secara rutin dan profesional. Ia membutuhkan adanya orang yang bisa focus memberikan pengaturan dan pelayanan.

 Yang mana, hal itu akan sangat sulit terwujud bila hanya mengandalkan “orang-orang yang ikhlas” untuk mau mengerjakannya secara baik dan ada pertanggung jawabannya. Apa lagi di zaman dan kehidupan yang mana nilai-nilai agama di sisihkan seperti hari ini.  Di daerah perkotaan khususnya, akan sangat sulit mendapati mereka yang mau suka rela mengurus agama tanpa adanya kompensasi apapun. Termasuk diantanya adalah yang bersedia mengumandangkan adzan di setiap waktu shalat.

Pertimbangan selanjutnya adalah : Benar bahwa ibadah itu adalah sarana untuk menggapai ridha Allah, namun dalam ibadah itu sendiri ada sisi-sisi lain yang beririsan dengan urusan duniawi. Nyaris tidak ada ibadah khususnya yang berkaitan dengan orang banyak yang murni tanpa ada sisi duniawiyahnya. Dan ternyata dalam syariah ada yang dibolehkan untuk diambil upah atau bayarannya.

Contohnya sangat banyak, seperti dalam ibadah Qurban, jelas itu adalah ibadah yang tidak boleh ada unsur selain mencari ridha Allah, namun dalam Qurban ternyata dibolehkan bagi tukang jagalnya untuk mengambil upah dari pekerjaannya menyembelih hewan.

Demikian juga dengan mengajarkan agama, hal ini jelaslah bentuk ibadah yang juga seharusnya digunakan untuk meraih ridha Allah ta’ala semata, namun di dalamnya ternyata juga ada kebolehan bagi guru untuk mengambil upah atas lelahnya ia mengajarkan ilmu agama kepada murid-muridnya.

Maka demikian juga kasusnya dengan para muadzin. Mereka ternyata bukan hanya bertugas mengumandangkan adzan, ada sisi lain yang juga dikerjakan oleh muadzin dalam tugasnya. Seperti kesiap-siagaannya menjaga waktu shalat misalnya, yang mana sebagian ulama mengatakan itu seperti tugas berjaga-jaga yang boleh untuk diberi upah.

Pertimbangan-pertimbangan di atas lah yang kemudian memunculkan perbedaan pendapat  di kalangan ahli ilmu tentang boleh tidaknya muadzin untuk mendapatkan upah. Ada yang membolehkan, namun ada yang tidak membolehkan. Berikut penjelasannya.

Kalangan yang tidak membolehkan

Sebagian ulama berpendapat bahwa upah untuk muadzin adalah hal yang dilarang dalam Islam. Bahkan kelompok ulama ini juga malarang aktivitas ibadah lainnnya untuk diberi upah, seperi imam, mengajari al Qur’an dan jihad. Pendapat ini dipegang oleh kalangan madzhab Hanafiyah dan pendapat yang kuat dari kalangan Hanabilah.[2]

Berkata Abul Husain al Qaduri al Hanafi rahimahullah :

قال أصحابنا: لا يجوز أخذ ‌الأجرة ‌على ‌الأذان

“Telah berkata para shahabat kami (Hanafiyah) tidak dibolehkan mengambil upah dari adzan.”[3]

Berkata al Imam Ibnu Qudamah al Hanbali rahimahullah:

أنه يكره أخذ ‌الأجرة ‌على ‌الأذان

“Bahwasanya dibenci mengambil upah dari adzan.”[4]

Berkata al imam Buhuti al Hanbali rahimahullah :

يحرم ‌أخذ ‌الأجرة ‌على ‌الأذان ‌والإقامة؛ لأنهما قربة لفاعلهما

“Dan diharamkan mengambil upah dari adzan dan iqamat. Karena keduanya adalah bentuk taqarrub kepada Allah saat mengerjakannya.”[5]

Dalilnya diantarannya adalah hadits-hadits berikut ini :

Dari Utsman bin Abi ‘Ash dia berkata :

إِنَّ مِنْ آخِرِ مَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ اتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا

"Amanah terakhir yang Rasulullah   berikan kepadaku adalah agar aku mengangkat seorang mu'adzin yang tidak mengambil upah dari adzannya tersebut”. (HR. Tirmidzi)

Dari Abdurrahman bin Syibl al Anshari berkata :

اقرءوا القرآن ولا تغلوا فيه ولا تجفوا عنه ولا تأكلوا به ولا تستكثروا به

Bacalah al Qur’an, amalkanlah ia, jangan jangan melalaikannya, dan jangan pula berlebih-lebihan terhadapnya, jangan makan hasil darinya, jangan memperbanyak harta darinya”. (HR. Ahmad)

Larangan mengambil upah bagi maudzin ini sifatnya makruh menurut umumnya ulama yang melarang, sedangkan sebagian ulama dari madzhab Hanbali mengharamkannya.

Kalangan yang membolehkan

Adapun ulama lainnya dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyyah dan sebagian Hanafiyah muta’akhirin membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Qur’an dan mengumandangkan adzan.[6] Berkata al imam Ibnu ‘Abidin al Hanafi rahimahullah :

أن عدم حل أخذ ‌الأجرة ‌على ‌الأذان والإمامة رأي المتقدمين، والمتأخرون يجوزون ذلك على ما سيأتي في الإجارات

“Tidak membolehkan untuk mengambil upah dari adzan dan imam menurut pendapat kalangan terdahulu (Hanafiyah), sedangkan kalangan terkemudian membolehkan yang seperti itu sebagaimana yang akan saya jelaskan di bab upah.”[7]

يكره أخذ ‌الأجرة ‌على ‌الأذان، إلا أن المتأخرين من علمائنا أجازوه مطلقاً لعدم وجود متطوعين وحفظاً للشعائر

“Dan dimakruhkan mengambil upah dari Adzan. Namun ulama kami yang terkemudian (dari Hanafiyah) membolehkan secara mutlak karena adanya sebab tidak banyaknya orang yang mau melakukannya dan untuk menjaga syiar Islam.”[8]

Berkata Qadhi Abu Muhammad bin Abdul Wahab al Maliki rahimahullah :

يجوز أخذ ‌الأجرة ‌على ‌الأذان والإقامة... لأنه إجماع الصحابة، لأن عمر أرزق المؤذنين

“Dan dibolehkan mengambil upah untuk adzan dan iqamat karena hal itu menjadi ijma’ shahabat ketika Umar memberikan tunjangan kepada para maudzin.”

Berkata al imam Haramain asy Syafi’i rahimahulah :

أنَّ المؤذن على ماذا يأخذ ‌الأجرة؟ وحاصل المذكور ثلائة أوجه: أحدها- أنه يستحق ‌الأجرة على رعاية المواقيت.والثانيأنه يستحقها على رفع الصوت.والثالث أنه يستحقها على الحيعلتين

“Atas hak apa muadzin boleh mendapatkan upah ? Karena salah satu dari tiga alasan : Pertama, karena penjagaannya terhadap waktu shalat. Kedua, karena dia telah melengkingkan suaranya. Ketiga, karena kedua-duanya.”[9]

Dalil pendapat yang membolehkan adalah pertama adanya Ijma’ sukuti (setujunya) para shahabat Nabi ketika amirul mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu;anhu menggaji para muadzin.[10]

Dalil yang kedua adalah riwayat bahwa di masa Khalifah Utsman pun hal yang sama dilakukan. Berkata al imam Baihaqi rahimahullah :

قال الشافعي قد ‌أرزق ‌المؤذنين إمام هدي عثمان بن عفان

 “Dan berkata Asy Syafi’i : Telah memberikan imbalan kepada para muadzin pemimpin yang mendapatkan petunjuk Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu.”[11]

Dan dalil ketiga adalah mereka memahami hadits larangan memberi upah kepada muadzin dan pembaca al Qur’an adalah dalam konteks umum. Sedangkan dalam perkara yang khusus di mana dubutuhkan tenaga profesional untuk mengurusi dakwah maka hal itu dibolehkan. Al imam Ibnu Qudamah ketika menjelaskan pendapat kalangan yang membolehkan menukilkan alasannya :

لأن بالمسلمين حاجة إليه وقد لا يوجد متطوع به وإذا لم يدفع الرزق فيه يعطل

Karena kaum muslimin membutuhkan orang semacam ini. Sementara bisa jadi tidak ada orang yang mau secara suka rela melakukannya. Dan jika (ada yang focus ngurus masjid) dan dia tidak digaji, bisa menelantarkan hidupnya.”[12]

Imam ash Shan’ani rahimahullah berkata :

ولا يخفى أنه – يعني حديث عثمان بن أبي العاص – لا يدل على التحريم وقيل: يجوز أخذها على التأذين في محل مخصوص إذ ليست على الأذان حينئذ بل على ملازمة المكان كأجرة الرصد

“Tidak diragukan sesungguhnya bahawa hal yang disebutkan, yakni hadits Utsman bin Ash, tidaklah menunjukkan keharaman menerima upah untuk muadzin. Ada yang mengatakan :  Boleh mengambil upah untuk adzannya dalam kondisi tertentu. Karena upah muadzin bukan sebatas untuk adzannya tapi untuk perjuangan dia yang selalu siaga (menjaga waktu shalat), seperti upah untuk orang yang berjaga-jaga.”[13]

Dana dari baitul Mal

Namun ulama bersepakat membolehkan jika yang diberikan kepada muadzin itu bersumber dari baitul mal. Disebutkan dalam al Mausu’ah Fiqhiyyah :

وأما الرزق من بيت المال فيجوز على ما يتعدى نفعه من هذه الأمور بلا خلاف، لأنه من باب الإحسان والمسامحة، بخلاف الإجارة فإنها من باب المعاوضة، ولأن بيت المال لمصالح المسلمين


"Adapun pemberian (kepada muadzin) jika itu diberikan dari baitul Mal muslimin hukumnya boleh menurut kesepakatan ulama, karena hal tersebut adalah bentuk perbuatan ihsan dan sebagai penggembira. Berbeda dengan upah yang merupakan bentuk timbal balik. Sedangkan dana dari baitul mal itu digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin”. [14]

Wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (1/91)

[2] Al Badai’ ash Shanai’ (4/192), al Hidayah (3/240), al Mughni (3/231)

[3] At Tajrid al Qaduri (1/433)

[4] al Mughni (1/415)

[5] Raudh al Murbi’ hal. 63

[6]Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (6/251), Fiqh ‘ala Madzhab al
Arba’ah
(1/295)

[7] Hasyiah Ibnu Abidin (1/392)

[8] Fiqh Ibadat ‘ala Madzhab al Hanafi hal. 74

[9] Nihayah al Mathlab (13/13)

[10] Mushannaf Abdur Razzaq (1/481)

[11] Sunan al Kubra (1/429)

[12] Al Mughni (1/460)

[13] Subulussalam (1/191)

[14] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (6/251)

 

0 comments

Post a Comment