SAFAR MODUS AGAR BISA BERHUBUNGAN SUAMI ISTRI

 Afwan kiyai, bagaimana hukumnya seseroang safar dengan niat supaya bisa berhubungan suami istri saat sedang berpuasa.

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Ini dia ciri khas netizen indonesia, pertanyaannya sangat kreatif dan menggelitik. Nggak dijawab ini masalah yang dimungkinkan terjadi, mau dijawab bingung kemana mau mencari referensi. Karena orang seperti saya ini tentu bukan mufti, maka setiap soalan, harus dicari rujukan jawabannya dari para ulama sang pewaris ilmunya Nabi.

Safar salah satu udzur boleh tidak berpuasa

Para ulama menjelaskan bahwa safar dengan jarak yang telah membolehkan seseorang untuk menjama’ dan mengqashar shalat dan bukan untuk tujuan maksiat ia boleh mengambil keringanan untuk tidak berpuasa.[1] Hal ini didasarkan kepada firman Allah ta’ala :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS Al-Baqarah: 85).


Dan ketika sedang udzur tidak berpuasa, tentu saja seseorang boleh melakukan segala hal yang menjadi larangan bagi orang yang berpuasa seperti makan, minum dan berhubungan suami istri.

Sebelum ke pokok masalah, berikut ini ada dua hal populer dalam masalah fiqih yang perlu kita ketahui meski sepintas agar kita bisa menarik kesimpulan terhadap kasus yang ditanyakan, yaitu masalah Tatabu’ rukhash  dan hukum Hillah.

Tatabu’ Rukhash

Dalam dunia fiqih ada yang disebut dengan tatabu’ rukhash, yakni istilah untuk aktivitas seseorang yang sengaja memilih pendapat yang ringan dan sesuai dengan kemampuannya dari pendapat – pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama.

Rukhsakh (jama’nya rukhash) itu sendiri artinya keringanan dalam agama. Berkata al imam Munawi rahimahullah :

وهي تسهيل الحكم على المكلف لعذر حصل

Rukhshah adalah keringanan hukum atas seseorang yang sudah terbebani kewajiban syariat karena sebab adanya udzur.”[2]

Mengambil rukhsakh (keringanan) dalam agama yang memang telah digariskan dalam syariat, hukumnya adalah boleh bahkan sebagiannya dianjurkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

إن الله تبارك وتعالى يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته

Sesungguhnya Allah tabaraka wataála menyukai ketika keringanan dariNya diambil, sebagaimana Dia membenci tatkala maksiat kepada-Nya dilakukan. (HR. Imam Ahmad)

Hal ini berbeda dengan aktivitas tatabu’ rukhash yang mana seseorang memang sengaja mencari-cari hal yang ringan dan mudah dalam beragama, dan ini umumnya dilarang oleh para ulama. Berkata sebagian ulama klasik terdahulu :

من تتبع رخص العلماء فقد تزندق

Barangsiapa yang mencari-cari rukhshah-rukhshah dari para ulama, maka sungguh ia telah berbuat zindiq.”[3]

Sulaiman at Taimi rahimahullah berkata :

لو أخذت برخصة كل عالم اجتمع فيك الشر كله

“Jika engkau (hanya) mengambil pendapat enteng-enteng dari setiap orang alim, maka  telah berkumpul padamu segala macam keburukan.”[4]

Meski tidak dipungkiri ada sebagian ulama dari kalangan Hanafiyah yang membolehkan tatabu’ rukhash dengan pengertian memilih-milih pendapat ulama, namun tetap itu tidak boleh dengan niat main-main. Al Imam Abu Abbas al Anshari al Hanafi berkata :

لكن لابد ان لايكون اتباع الرخص للتلهي ...ولعل هذا حرام بالإجماع لأن التلهي حرام بالنصوص القاطعة، فافهم

“Akan tetapi, tujuan mengikuti pendapat enteng-enteng harus bukan karena main-main... Hal semacam ini adalah sepakat haram, karena nas keharaman main-main amat lah jelas. Maka pahamilah ![5]

Hilah

Hilah termasuk kata yang juga diserap ke dalam bahasa indonesia menjadi kilah. Berkilah artinya menyangkal, menghindar. Ternyata makna dalam bahasa indonesia ini juga mirip dengan pengertian dalam bahasa arabnya, minimal secara etimologis.

Tentang apa itu hillah banyak definisi yang dibuat oleh ulama. Yang menurut kami paling jam’; sekaligus mani’ adalah definisi berikut ini :

الحيل ... تطلق على ‌المخارج ‌من ‌المضايق

“Hilah adalah mengambil sebuah jalan keluar dari kesempitan.”[6]

 

Dalam pembahasan tentang hukum dari melakukan hilah ini  ulama berbeda pendapat sangat tajam. Mulai dari yang mengharamkan secara mutlak hingga ada ulama yang memilah-milahnya, hingga ada jenis hilah yang haram namun ada yang dibolehkan.

 

Contoh kasus misalnya apa yang dilakukan seorang suami dimana ia  menikahi  lagi mantan istrinya yang telah ia talak tiga setelah istrinya terlebih dahulu dinikahi orang lain. Hal ini dibolehkan secara syar’i selama tidak ada unsur akal-akalan di dalamnya.

Namun hukum menjadi terlarang apabila suami tersebut melakukan hilah, yaitu dia mengupah seorang laki-laki lain untuk menikahi mantan istrinya lalu segera menceraikannya agar ia dapat kembali lagi memiliki mantan istrinya tersebut. Ini hillah yang diharamkan.

Sedangkan hillah yang boleh misalnya : Seseorang yang tahun ini ia berkewajiban membayar zakat karena tiba haulnya, lalu ia lebih memilih menggunakan hartanya untuk berhaji untuk mengurangi nisabnya.[7]

Hukum menjadikan safar alasan agar bisa berhubungan intim

Lalu apa hukumnya ketika seseorang sengaja membuat udzur agar bisa lepas dari kewajiban puasa seperti menyengaja safar sehingga bisa berhubungan suami istri ?

a dikaitkan dengan hukum tatabu’ rukhash dan hilah yang telah disebutkan di atas, maka yang paling mungkin hukumya adalah antara makruh atau bahkan haram. Tentu kecil kemungkinan berhukum mubah dan  sangat tidak mungkin berhukum sunnah.

Haram

Karena safar meskipun menjadi salah satu udzur bolehnya tidak berpuasa, namun dengan ketentuan safarnya bukan untuk bermaksiat. Berniat agar bisa bebas mengumbar hawa nafsu syahwat di siang hari Ramadhan dengan mengakali aturan syariat adalah perbuatan tercela dan menyerupai kemaksiatan.

Perbuatan ini mirip dengan tatabu’ rukhash bahkan dengan tujuan yang buruk yakni main-main. Juga merupakan bentuk hilah yang buruk, karena melakukan sesuatu demi hawa nafsu dengan mengorbankan ibadah yang agung yakni berpuasa.

Makruh

Kemungkinan kedua dari hukum perbuatan seperti ini adalah makruh, tidak sampai haram. Dengan alasan bahwa niat untuk bisa berhubungan suami istri bukanlah perbuatan maksiat. Tentu ia tidak bisa disamakan dengan maksiat seperti mau berjudi, berzina, berlaku dzalim yang menjadi pembatal syarat safar yang membolehkan seseorang tidak berpuasa.

Demikian juga, seandainya ia tergolong tatabu’ rukhash atau hilah, toh ada ulama yang membolehkan hal yang seperti itu. Sehingga meskipun niatnya tergolong modus, ia tidak bisa dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan.

Namun disini perlu dibantah, jika dilihat dari niat (tujuan) dari melakukan hilah, jenis hilahnya adalah yang dilarang, yakni untuk lari dari beban syariat demi nafsu syahwat. Agar sedikit berbeda misalnya jika seseorang melakukan safar untuk umrah demi mendapatkan keringanan tidak berpuasa.

Kesimpulan

Pendapat yang kuat – wallahu a’lam- perbuatan menyengaja safar agar bisa berjima’ dengan istri merupakan jenis tatabu’ rukhash dan juga hilah yang dilarang sehingga hukumnya adalah haram.[8]

Demikian, wallahu a’lam.


[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (28/49)

[2] Faidh al Qadir (2/296)

[3] Al Maukhtashar fi Ahkam hal.8

[4] Siyar A’lam Nubala (6/325)

[5] Fawatih ar Rahamut (4/304)

[6] Tarikh at Tasyri’ al Islami hal.334

[7] Maqashidus Syari’ah Al-Islamiyah hal.  323

[8] AlKhiyal Al-Fiqhiyah Dhawabithuha wa Tathbiqathuha hal.137

0 comments

Post a Comment