TAMBAHAN SEBELUM MENGUCAP AMIN

Afwan kiyai izin bertanya, saya mendengar sebagian guru saya ketika membaca al fatihah dan sampai ke lafadz “waladhalin” ia mengucapkan “Rabighfirli” baru lalu bacaan “amin”. Apakah hal ini ada dasarnya.

Jawaban

 Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kami tidak menemukan bahasan tentang masalah ini di kitab-kitab fiqih Madzhab Syafi’i generasi awalnya. Juga dari kitab fiqih madzhab lainnya. Saya tadinya mencoba melacak kalau-kalau masih mendapatkan bahasan ini di madzhab fiqih yang lain, namun saya menghentikannya ketika menemukan kalimat dalam kitab al Mausu’ah ketika membahas saktah (berhenti sejenak) antara bacaan akhir surah al Fatihah “waladhalin” dengan ucapan “amin”.

Setelah menyebutkan adanya kesunnahan saktah sejenak diantara keduanya menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, dikatakan :

‌ولم ‌أر‌من ‌الحنفية ‌والمالكية ‌من ‌تعرض ‌لهذه النقطة

“Dan tidak didapati seorang ulama pun dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah yang membahas tentang “jeda sejenak” ini.”[1]

Saya berfikir, jika “jedanya” saja tidak dibahas oleh dua madzhab tersebut - termasuk Hanabilah meskipun ikut membahas “jeda” ini - apalagi bacaan dalam “jeda” tersebut. Bahasan tentang menambahkan lafadz “Allahumma ighfirli” sebelum membaca amin setelah al Fatihah baru kami temukan dalam kitab-kitab-kitab Syafi’iyyah generasi muata’akhirin seperti :

Nihayatul Muhtaj karya imam Ramli rahimahullah :

...وينبغي ‌أنه ‌لو ‌زاد ‌على ‌ذلك ولوالدي ولجميع المسلمين لم يضر أيضا

“Boleh seseorang menambahkan (Rabighfirli), dan juga dibolehkan menambahkan “waliwalidayya wali jami’il muslimin”, hal yang demikian tidak membahayakan (keabsahan shalat).”[2]

Kitab I’anah at Thalibin karya Syaikh Abu Bakar Ad Dimyathi rahimahullah :

أنه يستثنى من التلفظ بشئ التلفظ برب اغفر لي، فإنه لا يضر للخبر الحسن أنه  صلى الله عليه وسلم  قال عقب ولا الضالين رب اغفر لي

“Sesungguhnya berdoa dengan rabbighfirli tidak memberi mudharat (kerusakan bagi shalat), karena adanya khabar hasan bahwa Beliau shalallahu’alaihi wassalam berdoa dengannya selesai membaca wa lãdh dhallin, rabbighfirli.”[3]

لا يطلب من المأموم عند فراغ إمامه من الفاتحة قول رب اغفر لي ، وإنما يطلب منه التأمين فقط ، وقول ربي اغفر لي مطلوب من القارىء فقط في السكتة بين آخر الفاتحة وآمين

Seorang makmum setelah imam selesai membaca al-Fatihah tidaklah membaca rabbighfirli. Yang dituntunkan dari makmum hanyalah membaca ‘amin saja. Membaca rabbighfirli hanya dilakukan dari orang yang membaca al Fatihah ketika ada diam sejenak antara surat al-Fatihah dengan bacaan ãmin”. [4]

Bahasan serupa ini juga ada dalam kitab Syafi’iyyah lainnya seperti Tuhfatul Muhtaj (2/49), Hasyiah al Jamal (1/354) dan Hasyiah al Bujairami (1/199).

Dalilnya

 Amalan ini didasarkan kepada sebuah hadits riwayat imam Baihaqi dari Sahabat Wail bin Hujrin[5]  :


أنه سمع رسول الله - ﷺ حين قال: غير المغضوب عليهم ولا الضالين قال: رب اغفر لي آمين.

“Bahwa dia mendengar ketika Rasulullah membaca “Ghairil Maghdhubi ‘alaihim waladhalin” beliau berucap : Rabighfirliy Amin.”

Kualitas hadits

Hadits ini lemah menurut mayoritas ulama hadits, sebagian menghukumi dha’if jiddan (lemah sekali), sedangkan Ibnu Hajar al Haitsami menyendiri dalam menghasankannya.[6]

Penyebab mayoritas ahli hadits melemahkan hadits ini adalah sebab transmisi  sanad hadits ini menyendiri yang dua rawinya tertuduh lemah, yakni Ahmad bin Abdil Jabbar yang ia terima dari Ayahnya, Abdul Jabbar al Utharidi.

Abdul Jabar ini yang dikenal dengan sebutan Utharidi, ia berstatus sebaga rawi yang majhul (tidak dikenal). Imam al ‘Uqaili mengatakan bahwa pada hadits yang diriwayatkannya terdapat banyak kesalahan.

Sedangkan si anak sendiri yakni Ahmad al Uthairi bahkan dituduh pendusta oleh sebagian ulama hadits seperti Muhtin al Hadrami[7]. Sedangkan ulama yang lainnya hanya menganggap bahwa riwayatnya lemah.[8]

Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah ketika mengomentari sang rawi berkata :

 

‌أحمد ‌بن ‌عبد ‌الجبار ‌العطاردي، وثقه الدارقطني وغيره، قال ابن عدي: رأيت أهل العراق مجمعين على ضعفه

 

“Adapun Ahmad bin Abdul Jabar al Uthari ini, Daruquthi menganggapnya sebagai rawi yang tsiqah, sedangkan Ibnu ‘Adi mengatakan : Aku telah melihat ulama hadits Iraq semua bersepakat melemahkannya.”[9]

Beliau juga berkata : “Ahmad bin Abdul Jabar al Uthari dia rawi yang lemah.”[10]

Karenanya Imam al-Dzahabi ketika mengomentari hadits di atas menyatakan ia adalah hadis munkar yang masuk kategori dhaif jiddan (sangat lemah). Dalam silsilah rawinya ada Ahmad al ‘Utharidi dan ayahnya, keduanya merupakan rawi yang banyak dikomentari oleh para ahli hadits.

Kesimpulan

Amalan menambahkan “rabighfirli” sebelum bacaan amin tidak disunnahkan menurut mayoritas ulama, sedangkan sebagian Syafi’iyyah membolehkan bagi yang membaca al Fatihah, bukan bagi makmum berdasarkan dalil yang telah di bahas di atas, juga karena antara lafadz "waladhalin" dan ucapan "Amin" disunnahkan untuk memberikan jeda sejenak.[11] Wallahu a’lam.



[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (1/114)

[2] Nihayatul Muhtaj (1/489)

[3] I’anah at Thalibin (1/173)

[4] Bughyatul Mustarsyidin hal. 90

[5] Sunan al Kubra (3/446), juga diriwayatkan oleh imam Thabrani dalam Mu’jam al Kabir no. 107  dan Ibnu al Bukhturi no. 379

[6] Tuhfatul Muhtaj (2/49)

[7] Ibnu Hajar al Asqalani meskipun menilai sang rawi lemah, namun membantah tuduhan sebagai pendusta kepadanya, lihat Tahdzib at Tahdzib (1/52)

[8] Majma’ az Zawaid (2/293)

[9] Mukhtashar az Zawaid (1/332)

[10] Mathalib al ‘Aliyah (15/414)

11. Jamal 'ala Manhaj ( 1/354), al Hawasyi al Madinah (1/166)

 

0 comments

Post a Comment