YANG SUNNAH MENGEPAL KETIKA BANGKIT DARI SUJUD ?

Afwan kiyai benarkah bahwa yang sesuai sunnah itu ketika bangkit dari sujud kedua tangan dikepalkan ? Katanya itu yang shahih yang dilakukan oleh Nabi. Mohon penjelasannya.

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Menurut pendapat mayoritas ulama yakni dari madzhab Maliki dan Syafi’i ada kesunnahan bertelekan dengan kedua tangan ketika bangkit dari sujud, namun semuanya menyebutkan dengan posisi jari tangan dibula, bukan dikepalkan.[1] Hal ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini :

Dari Abu Qilabah ia berkata :

جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الحُوَيْرِثِ، فَصَلَّى بِنَا فِي مَسْجِدِنَا هَذَا، فَقَالَ: إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيدُ الصَّلاَةَ، وَلَكِنْ أُرِيدُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الأَرْضِ، ثُمَّ قَامَ

“Malik bin al-Huwairits datang kepada kami, lalu ia mengimami kami di masjid kami ini, lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku akan shalat di hadapan kalian, namun aku tidaklah benar-benar shalat, hanya saja aku ingin mempraktekkan untuk kalian tata cara shalat Nabi shallallahuálaihi wasallam yang pernah kusaksikan…..”Dan jika ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua iapun duduk, lalu bertumpu ke tanah, lalu bangkit.” (HR. Bukhari)

Dalam menyikapi hadits-hadits di atas terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Madzhab Maliki,[2] Syafi’i[3] dan sebagian pengikut madzhab Hanafi menganggap hal itu disunnahkan, lalu sebagian Hanafi tidak mensunnahkan[4] sedangkan kalangan Hanbali mensunnahkan bertumpu di paha, adapun untuk orang tua dan orang yang lemah boleh bertumpu di tanah.[5]

Namun semua madzhab sepakat bahwa sifat bertumpu yang dilakukan adalah dengan membuka telapak tangan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah :

وإذا اعتمد بيديه جعل بطن راحتيه وبطون أصابعه على الأرض ، بلا خلاف

Ketika seseorang bertumpu dengan kedua tangannya, maka dia hendaknya meletakkan kedua telapak tangannya dan telapak jari-jarinya di atas lantai, tanpa ada perbedaan di kalangan ulama.”[6]

Khatib asy Syarbini juga berkata hal yang sama :

وكيفية ‌الاعتماد ‌أن ‌يجعل ‌بطن ‌راحتيه، وبطون أصابعه على الأرض وسواء فيه القوي والضعيف

“Sedang cara bertumpunya adalah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan jari-jarinya di atas tanah baik bagi orang yang kuat maupun yang lemah.[7]

 

Lalu bagaimana dengan praktik mengepal saat bangkit dari sujud itu, adakah pendapat dari ulama madzhab yang empat yang menyatakan itu ? Sejauh penelusuran kami, tak kami dapati adanya ulama dari madzhab manapun yang berpendapat bahwa sifat bertumpu saat bangkit dari sujud itu adalah dengan mengepal.

Kami baru mendapatinya pendapat ini bersumber dari buku yang berjudul sifat shalat Nabi yang ditulis oleh ulama kontemporer yang bernama Syaikh Nashiruddin al Albani. Di dalam karyanya tersebut, beliau mengatakan bahwa disunnahkan menggenggam atau mengepal saat bertumpu bangkit dari sujud.

Pendalilannya adalah adanya hadits-hadits yang menyebut kata “ajan” yang mensifati cara bangkitnya Nabi shallahu’alaihi wassalam dari sujud, lalu beliau maknani kata ‘ajan tersebut dengan arti mengepal/menggenggam. Sedangkan dalam pandangan ulama dan ahli bahasa, kata ‘ajan tidak tepat jika langsung diartikan dengan mengepal.

Namun sebelum kita membahas makna hadits tersebut, kita perlu tahu kedudukan hadits tentang ‘ajan ini, karena ternyata dalam pandangan para ulama hadits, seluruh haditsnya derajatnya lemah bahkan sebagiannya dinyatakan oleh ulama sebagai lemah sekali.

Hadis-hadis tentang ‘Ajan ketika bangkit dari sujud.

Hadits pertama

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى الأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ

 

“Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah apabila berdiri dari shalatnya, beliau menempatkan tangannya pada lantai sebagaimana al Ajin menempatkan tangannya.”

Takhrij Hadits

Disebutkan  oleh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir (1/466).

Kualitas Hadits

Imam Nawawi rahimahullah berkata tentang hadits di atas :

فهو حديث ضعيف أو باطل لا أصل له 

Berkata An Nawawi : “(Ini) hadits lemah atau bahkan batil, tidak ada asalnya”.[8] Sedangkan Imam Ar Ramliy juga mengatakan : “Dhaif atau bathil.[9]Berkata Ibnu Ash Shalah :

هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ وَلَا يُعْرَفُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ 

“Hadits ini tidak shahih dan tidak dikenal serta tidak boleh berhujjah dengannya”.[10]

Hadits kedua

Azraq bin Qais berkata :

رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَهُوَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ، فَقُلْتُ: مَا هَذَا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ

Saya melihat ‘Abdullah bin ‘Umar dalam keadaan melakukan ‘ajn dalam shalat, i’timad di atas kedua tangannya bila beliau berdiri. Maka saya bertanya : “Apa ini wahai Abu ‘Abdirrahman ?” beliau berkata : “Saya melihat Rasulullah melakukan ‘ajn dalam shalat .”

Hadits dengan redaksi serupa berbunyi  :

رَأَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ وَهُوَ يَعْجِنُ فِي الصَّلاَةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ كَمَا يَفْعَلُ الَّذِيْ يَعْجِنُ الْعَجِيْنُ

"Dari alAzraq, saya melihat Abdullah bin Umar ber’ajan ketika shalat, yaitu bertopang dengan kedua tangannya apabila berdiri sebagaimana yang dilakukan ‘ajin ketika ber’ajan.”

Takhrij Hadits

Hadits pertama dikeluarkan oleh At Thabaraani dalam al Mu’jam al-Ausath no 4007 dan hsfitd kedua oleh Ibrahim bin Ishaq al Harbi di Gharib Al-Hadiits 2/252

Kualitas Hadits

Semua jalur riwayatnya melalui Yunus bin Bakr dari Haitsam. Dua rawi ini yang bermasalah. Tentang Yunus, imam Nasai dalam Tahdzibut Tahdzib mengatakan : “Dia tidak kuat, lemah.” Ali al Madini juga mengatakan : “Dia tidak kuat.”[11] Al Ajli juga mengatakan : “Dia orang yang lemah haditsnya.”[12]

Sedangkan tentang Haitsam kelihatannya Syaikh Albani dalam Silsilah ash Shahihahnya (6/380) mengalami wahm, ia mengira Haitsam dalam rawi adalah Haitsam bin Imran, padahal Haitsam yang menjadi rawi tersebut adalah Haitsam bin al Qamah ats Tsa’labah.

 Namun demikian Baik Haitsam bin Imran ataupun Hisyam bin al Qamah adalah sama-sama majhul sehingga hadits dari keduanya adalah lemah.[13]

Kesimpulannya semua hadits tentang ‘ajan adalah lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Berkata al imam Nawawi :

وأما الحديث المذكور ..عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم  ‌كان ‌إذا ‌قام ‌في ‌صلاته ‌وضع ‌يديه ‌على ‌الأرض ‌كما ‌يضع ‌العاجن " فهو حديث ضعيف أو باطل لا أصل له

Adapun hadits Munkar dari Ibn Abbas ... dan selainnya, “Bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam apabila bangkit ketika shalat, maka ia memposisikan tangannya di atas tanah seperti pengadon tepung yang meletakkan tangannya.”, maka ini adalah hadits daif atau tidak ada asal muasalnya.”[14]

Al Imam Khatib Syarbini juga mengatakan : “Hadits yang menyebutkan Nabi ber’ajan tidaklah shahih.”[15]

‘Ajan artinya mengepalkan tangan ?

Seandainya katakan saja hadits tentang ‘Ajan ini shahih, tidak serta merta bisa diartikan dengan mengepalkan tangan. Karena pengertian kata ‘ajn dengan makna mengepalkan tangan, adalah sesuatu yang syad (asing).  Karena umumnya literatur kitab berbahasa arab dan juga dalam kamus-kamus standar, kata عجن ‘ajan  diartikan dengan :  Kamus Munawwir cetakan pustaka Progresif, hal 902 : ‘ajana berarti bertopang kuat dengan kedua tangannya.

Al Mu’jam Al Wasith : II/586 : ‘ajana adalah berdiri dengan menyandarkan tangannya di atas tanah, karena sudah tua atau karena gemuk.

Demikian juga umumnya para ulama menjelaskan kata ‘ajan ini dengan makna bertumpu dengan kuat, bukan menggenggam seperti tangan saat meninju.  Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

فإن العاجن في اللغة الرجل المسن الكبير الذي إذا قام اعتمد على الأرض بيديه من الكبر، فإن كان وصف الكبير بذلك مأخوذاً من عاجن العجين فالتشبيه في شدَّة الاعتماد عند وضع اليدين، لا في كيفية ضم أصابعهما. وأما الذي في كتاب “المحكم في اللغة” للمغربي المتأخر الضرير من قوله في العاجن: “إنه المعتمد على الأرض بجُمعه”. وجُمع الكفِّ هو أن يقبضها كما ذكروه، فغير مقبول؛ فإنه ممن لا يقبل ما يتفرد به؛ فإنه كان يغلط، ويغلطونه كثيراً،

“Sesungguhnya makna “al Ajin” dalam bahasa Arab adalah  lelaki tua renta yang seandainya hendak bangkit, ia bertumpu dengan tangannya disebabkan faktor usia. Jika memang penyifatan seorang tua renta dengan sifat tersebut (al-aajin) diadopsi dari seorang yang sedang mengadon suatu adonan (aajinu-l ajiin), maka sisi kemiripan antara keduanya adalah kuatnya tekanan atau tumpuan tatkala meletakkan tangannya, bukan pada tata cara mengepalkan tangannya.

Adapun keterangan yang ada pada kitab “Al-Muhkam Fi Al-Lughoh” karya salah seorang ulama mutaakhirin dari Maroko yang buta, bahwa makna dari al-aajin adalah : “orang yang bertumpu ke tanah dengan mengepalkan tangannya”, maka tidaklah dapat diterima. Karena beliau termasuk orang yang tidak diterima pendapat tunggalnya seputar pembahasan Bahasa Arab, karena ia sering salah, sebagaimana para ahli bahasa juga sering menyalahkannya.”[16]

Penafsiran kata ‘Ajan dengan mengepal ini bahkan juga dibantah oleh ulama kontemporer hari ini, diantaranya Syaikh Bakr Abu Zaid, beliau berkata :

وهو أن يجمع يديه ويتكئ على ظهورهما عند القيام ... وهذه هيئة أعجمية ليست سنة شرعية

“Yaitu seseorang yang menggenggamkan tangannya lalu betumpu dengan punggung tangannya saat berdiri ... Maka yang seperti ini adalah cara yang tidak diketahui, ia bukan perkara sunnah yang syar’i.”[17]

Kesimpulan

1.Bertelekan ketika bangkit dari sujud, sunnah menurut sebagian ulama tidak sunnah menurut sebagian lainnya.

2. Yang mensunnahkan menjelaskan bahwa tatacara bertelekannya adalah dengan membuka telapak tangan.

3. Hadits yang menyebutkan sifat Nabi ketika bertelekan adalah dengan ber’ajan statusnya lemah sehingga tidak diamalkan.

4. Seandainya saja dipaksakan haditsnya bisa diterima, makna ‘Ajan bukanlah mengepal, tapi bertumpu dengan kuat.

Demikian, wallahu a’lam



[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/96)

[2] Syarah Ibnu Naji (1/148)

[3] Al Muhadzdzab (1/148)

[4] Tajrid lil Qaduri (2/551)

[5] Mughni li Ibn Qudamah (1/381)

[6] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (3/442)

[7] Mughni al Muhtaj (1/392)

[8] Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (3/421).

[9] Nihayatul Muhtaj (1/549) 

[10] Talkhish Al Habir (1/625) 

[11] As Sualat li Ibnu Abi Syaibah no.234

[12] Ats Tsiqat no.2063

[13] Al-Haitsam bin ‘Imran Ad-Dimasyqy, telah meriwayatkan darinya 5 ulama hadits, dan tidak ada yang mentsiqahkan (menganggapnya bisa dipercaya) kecuali Ibnu Hibban (Ats-Tsiqat, 2/296). Memang para ulama hadits berbeda pendapat tentang kedudukan rawi yang seperti ini. Namun, sebagian besar mereka memasukkannya kedalam kelompok   rawi yang majhul hal (tidak diketahui keadaannya)  yang mana haditsnya tidak bisa diterima. Lihat Jarh Wa at-ta’diil, Ibn Abi Hatim (2/38), ‘Abdil Hadi (1/104), Al-Jarh wat Ta'dil (4/82-83)

[14] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (3/442)

[15] Mughni al Muhtaj (1/392)

[16] Syarah Musykil al Washith (2/142)

[17] La Jadid hal. 47

0 comments

Post a Comment