HUKUM TALFIQ

Dalam bahasa Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ) berasal dari kata (لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain.[1] Sedangkan secara definisi talfiq adalah menggabungkan dua atau lebih pendapat madzhab dalam sebuah praktik ibadah.[2]

 Contohnya seseorang yang ketika wudhu mencukupi hanya membasuh beberapa helai rambut mengikuti madzhab Syafi’i, dan ketika menyentuh wanita ia tidak mengulangi wudlunya lagi, karena mengikuti pendapat yang menyetakan tidak batal, seperti madzhab Hanafi.

 Sehingga dengan model penggabungan seperti itu muncullah sebuah tata cara baru dalam ibadah yang tidak diajarkan oleh satupun madzhab fiqih yang ada. Sehingga sebagian ulama ada yang mendefinisikan talfiq dengan :

الإتيان بكيفية لا يقول بها مجتهد

“Mendatangkan tata cara ibadah yang itu tidak dinyatakan oleh mujtahid.”[3]

Namun jika penggabungan ini bukan dalam satu rangkaian ibadah, tapi dalam banyak masalah yang saling terpisah. Ia bukan masuk ke bahasan talfiq, tapi bab pindah madzhab atau memilih pendapat madzhab.[4] Meski ada juga yang menyebut dengan talfiq juga, namun ia dinyatakan sebagai talfiq yang boleh bahkan oleh kalangan yang mengharamkan talfiq secara mutlak.[5] Dan ini nanti kita bahas di bab tersendiri.[6]

Kemunculan talfiq

Talfiq tentu tidak dikenal di masa awal Islam, sejak di zaman Nabi shallallahu‘alaihi wa allam dan para sahabatnya, bahkan tidak pula di masa imam-imam madzhab dan para muridnya. Adapun sebab mengapa di masa Rasulullah  shallallahu‘alaihi wasallam, tidak ada praktek talfiq sama, jawabannya karena masa itu merupakan era penyampaian wahyu yang tidak memungkinkan adanya ijtihad. Jika da perbedaan rujukannya jelas langsung ke Nabi shalallahu’alaihi wassalam.

Demikian pula di beberapa masa setelahnya hingga generasi awal madzhab-madzhab fiqih, talfiq nyaris belum di kenal, karena pada masa itu, kaum muslimin sudah merasa cukup tentram mengikuti keilmuan yang diajarkan oleh para ulama mereka.

ولا يبعد أن يكون حدوث البحث في ‌التلفيق ‌في ‌القرن ‌الخامس بسبب شدة التعصب والتحزب، ودخلول السياسة في التمذهب

“Bukan hal yang asing untuk diketahui bahwa bahasan masalah talfiq  baru muncul di abad ke-5 H dengan adanya sebab kuatnya kefanatikan madzhab dan kelompok. Dan masuknya kepentingan politik dalam urusan madzhab.”[7]

Sedangkan syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah malah menyatakan :

 

ولم يتكلم فيها قبل القرن السابع

 

“Dan belum pernah masalah ini (talfiq) dibicarakan sebelum abad ketujuh Hijriyah.”[8]

Ruang Lingkup Talfiq

Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalah-masalah ijtihadiyah, yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara pokok dalam agama). Adapun setiap perkara yang disitilahkan dengan ma’lum fiddin bidhdharurah  atau hal prinsip dalam agama ini, maka tidak boleh ada talfiq di dalamnya.

Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah berkata :

و‌‌مجال التلفيق ... محصور في المسائل الاجتهادية الظنية. أما كل ما علم من الدين بالضرورة ..ـ من متعلَّقات الحكم الشرعي، وهو ماأجمع عليه المسلمون ويكفر جاحده، فلا يصح فيه التقليد والتلفيق، وعلى هذا فلا يجوز التلفيق المؤدي إلى إباحة المحرمات كالنبيذ والزنا مثلاً

 “Ruang lingkup talfiq adalah khusu untuk masalah yang sifatnya ijtihad dan yang berkaitan bukan hal yang pasti dalam agama. Adapun perkara yang sifatnya prinsip dalam agama, yang berkaitan dengan hukum syar’i  yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin tentang hukumnya, yang menyebabkan kekafiran pihak yang mengingkarinya, maka tidak boleh ada taqlid dan juga talfiq.

Karenanya tidak boleh melakukan talfiq untuk menghalalkan yang diharamkan, seperti khamar, zina dan lainnya.”[9]

Hukum Talfiq

Secara umum ada tiga pandangan ulama tentang hukum melakukan talfiq antar madzhab. Sebagian ulama mengharamkan secara mutlak sedangkan ulama lainnya membolehkan talfiq secara mutlak, dan ada yang membolehkan asalkan dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Berikut uraiannya.

A.   Yang mutlak mengharamkan

Mayoritas ulama madzhab muta’akhirin menyatakan tidak bolehnya talfiq karena dianggap sebagai perbuatan yang berpotensi mengacak-acak aturan syariat agama yang dituntunkan lewat ilmu para ulama. Berkata Syaikh Abu Bakar ad Dimyathi asy Syafi’i rahimahullah :

ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة

“Dilarang melakukan talfiq dalam satu permasalahan, seperti mengikuti pendapat Imam Malik dalam sucinya anjing lalu mengikuti Imam Syafi’i dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.”[10]

 Bahkan para pendukung pendapat pertama ini mengklaim adanya ijma atas ketidakbolehan talfiq. Berkata al imam Ibnu Abidin al Hanafi rahimahullah :

أن الحكم الملفق باطل بالإجماع، وأن الرجوع عن التقليد بعد العمل باطل اتفاقا

“Sungguh hukum melakukan talfiq adalah bathil menurut kesepakatan ulama, dan kembalinya seseorang kepada taklid (mengikuti madzhab lagi) dengan sebab perbuatan tersebut (talfiq) adalah bathil menurut itifaq ulama.”[11]

Ibnu Hajar al Haitami asy Syafi’i rahimahullah berkata :

‌التلفيق الممنوع إجماعا

 

“Talfiq terlarang secara ijma’.”[12]

Beliau juga berkata : “Pendapat yang mengatakan kebolehan talfiq adalah menyelisihi ijma’”.[13]

Meski klaim ijma’ ini kemudian dibantah oleh banyak ulama lainnya.

Diantara dalil dan alasan kalangan yang mengharamkan talfiq adalah sebagai berikut :

1.     Mencegah kerusakan beragama

Seandainya  talfiq dibiarkan dilakukan oleh banyak orang, maka  yang akan terjadi adalah kerusakan pondasi ilmu yang telah disusun oleh para ulama. Kaidah- kaidah keilmuan menjadi tidak berarti lagi, sebab melakukan talfiq hakikatnya adalah menjalankan agama dengan cara mengoplos atau semacam kanibalisasi pendapat para ulama madzhab yang ada.

2.     Munculnya pendapat ketiga bertentangan dengan kebenaran

Memang benar pendapat ulama adalah murni ijtihad yang bisa salah bisa juga benar. Namun itu adalah hasil dari sebuah penelusuran, pemikiran dan analisa tajam dengan kaidah yang ilmiah. Dan meski kemudian hasilnya pendapat-pendapat mereka nampak saling berbeda dan bertentangan satu sama lain, hakikatnya adalah upaya untuk memahami satu kebenaran saja.

Maka, jika dimunculkan pendapat ketiga, yang bukan hasil ijtihad mereka yang dirangkai dengan cara teratur, namun dari gabungan-gabungan pendapat yang ada, itu akan menjauhkan dari kebenaran dan menjatuhkan kepada kesalahan.[14]

B.    Yang mutlak membolehkan

Sedangkan sebagian seperti  ad Dasuqi , Abu Bakar ad-Dardir dari kalangan Malikiyah[15] mutlak mengatakan bahwa talfiq bukanlah keharusan dalam agama.  Menurut mereka, selain tidak ada kewajiban untuk iltizam (menetapi) satu madzhab, mereka juga memandang pengharaman atas talfiq justru akan menyebabkan kesulitan dan beban berat dalam beragama, yang ini bertentangan dengan ruh Islam yang memberikan kemudahan.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

 

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al Baqarah : 185)

Dan Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ

 Aku diutus dengan membawa ajaran yang lurus lagi mudah.” (HR. Ahmad)

C.    Yang memerinci, ada yang boleh dan tidak boleh

Pendapat yang ketiga ini berada di tengah-tengah, mereka menyatakan bahwa talfiq ada yang boleh dan ada yang tidak boleh. Talfiq adalah bentuk kemudahan dalam agama, namun agar kemudahan itu tidak berubah menjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin menurutkan hawa nafsunya, ada ketentuan yang harus dijalankan.

Pendapat ini dinyatakan oleh banyak ulama dari empat madzhab seperti Al imam Kamal ibnu Humam al Hanafiyah, Ath Thurtusi dari Hanabilah[16] serta deretan ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf al Qaradhawi, Abdul Wahab Khalaf, Syaikh Wahbab Zuhaili rahimahumullah dan lainnya.

Berkata Syaikh Wahbah Zuhaili :

و‌‌جواز التلفيق مبني على ما قررناه من أنه لا يجب التزام مذهب معين في جميع المسائل، فمن لم يكن ملتزماً مذهباً معيناً، جاز له التلفيق، وإلا أدى الأمر إلى بطلان عبادات العوام، لأن العامي لا مذهب له ولو تمذهب به، ومذهبه في كل قضية هو مذهب من أفتاه بها. كما أن القول بجواز التلفيق يعتبر من باب التيسير على الناس

“Kebolehan talfiq adalah berdasarkan apa yang telah kita bahas sebelumnya. Diantaranya adalah tidak adanya kewajiban untuk konsisten mengikuti satu madzhab saja. Sehingga jika tidak wajib mengikuti satu madzhab, ia boleh melakukan talfiq. Jika bermadzhab itu wajib dan talfiq dilarang (mutlak) maka rusaklah ibadahnya orang-orang awam.

Karena sebenarnya orang awam itu tidaklah bermadzhab, meski dia mengaku mengikut smadzhab tertentu. Madzhab orang awam adalah fatwa ulama yang berfatwa kepadanya (gurunya).

Selain itu pendapat yang membolehkan talfiq, adalah bertujuan untuk membuka pintu kemudahan bagi banyak orang.”[17]

Syaikh Yusuf al Qaradhawi berkata : “Sebagian ulama membolehkan talfiq, sebagian lain melarangnya. Sedangakan pendapatku, jika seseorang melakukan talfiq dengan cara hanya tatabbu’ rukhas tanpa memperhatikan dalilnya, maka yang seperti tidak boleh. Namun, jika melakukan talfiq dengan cara mengambil yang rajih dan kuat menurut pandangannya, maka talfiq yang semacam ini tidak mengapa.”[18]

Kesimpulannya

Ulama berbeda pendapat tentang hukum talfiq, antara yang membolehkan dengan yang tidak membolehkan. Sedangkan sebagian ulama memilah ada talfiq yang boleh dan ada yang tidak boleh. Adapun saya lebih cenderung mengikuti pendapat ketiga ini, yakni talfiq dibolehkan bila caranya baik dan tujuannya juga benar.

Lantas apa saja ketentuan talfiq yang sesuai dengan ketentuan yang benar ? Nantikan sambungan bahasan ini, Insyaallah....

Wallahu a’lam.


[1] Lisanul Arab (10/331), al Muhith hal. 922

[2] Fiqh al Islami wa Adilatuhu (1/106)

[3] Umdatul Tahqiq fi Taqlid wa Talfiq hal.183

[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (13/294)

[5] Bughyatul Musytarsyidin (1/15) :

لقادح في التلفيق إنما يتأتى إذا كان في قضية واحدة، بخلافه في قضيتين فليس بقادح

“Yang dilarang dalam talfiq adalah dalam satu masalah, jika talfiqnya dalam dua masalah yang berbeda maka tidak dianggap haram.

[7] Fatawa al Islami al Qashimi hal. 170, Umdatul Tahqiq fi Taqlid wa Talfiq hal. 94

[8] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (1/107)

[9] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (1/107)

[10] I’anah ath Thalibin (1/25)

[11] Hasyiah Ibnu Abidin (1/51)

[12] Nihayatul Muhtaj (2/341)

[13] Al Ittihaf bi Ijarari al Auqaf (2/1142)

[14] Al ‘Addah li Abi Ya’la (4/1113)

[15] Syarhul Kabir (1/20)

[16] Fiqh Islami wa Adilatuhu (1/108)

[17] Fiqh Islami wa Adilatuhu (1/107)

[18] Fatawa Mu’ashirah (2/121)

0 comments

Post a Comment