Oleh : Ahnad Syahrin Thoriq
Beberapa hari terakhir ini kata bai’ah menjadi bahan pembicaraan yang cukup hangat. Untuk sebagian kalangan mungkin tidak asing dengan istilah bai’ah atau bai’at, tapi untuk kebanyakan orang yang awam, mereka bertanya-tanya apa itu bai’at dan bagaimana kedudukannya dalam Islam ? Benarkah jika tidak berbai’ah matinya mati jahiliyah ?
Berikut ini adalah sekelumit tulisan kami tentang bai’at yang meliputi pengertian, hukum dan penjelasan singkat hadits-hadits yang menyebutkannya.
Pengertiannya
Akar kata bai’at berasal adalah ba’a yabi’u yang artinya menukar harta dengan harta.[1] Bai’at secara bahasa adalah bertransaksi untuk mentaati.
Berkata al imam Qurthubi rahimahullah :
البيعة مأخوذة منْ البيع، وذلك أن المبايع للإمام يلتزم أن يقيه بنفسه وماله، فكأنه قد بذل نفسه
“Bai’at terambil dari kata bai’ (jual beli). Hal ini karena berbai’at kepada pemimpin itu artinya ia harus siap membela pemimpin tersebut dengan diri dan hartanya. Maka seakan-akan dengan ini dia telah menukar dirinya.”[2]
Berkata al imam Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah :
المبايعة: عبارة عن المعاهدة، سُمّيت بذلك تشبيها لها بالمعاوضة الماليّة، كما فِي قوله تعالى: {إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ}
“Yang dimaksud dengan berbait adalah saling mengikat janji. Saling mengikat janji disebut demikian dengan tujuan diserupakan dengan transaksi tukar menukar barang -seperti jual beli- sebagaimana firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang yang beriman dan surga itu untuk mereka.”[3]
Sedangkan secara istilah Ibnu Khaldun rahimahullah menyatakan :
البيعة هي العهد على الطاعة، كأن المبايع يعاهد أميره على أنه يسلم له النظر في أمر نفسه وأمور المسلمين، لا ينازغه في شيء من ذلك، ويطيعه فيما يكلفه به من الأمر على المنشط والمكره
”Bai’at adalah berjanji untuk taat. Seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijakan terkait urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. Tanpa sedikitpun berkeinginan menentangnya. Serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”[4]
Al imam Ibnu Atsir berkata :
المبايعة على الإسلام: عبارة عن المعاقدة عليه، والمعاهدة، كأن كلّ واحد منهما باع ما عنده من صاحبه، وأعطاه خالصة نفسه، وطاعته، ودَخِيلةَ أمره
“Berbai’at dalam Islam artinya adalah berpegang teguh dan berjanji atasnya. Seakan-akan setiap orang menjual apa yang ia punyai kepada pihak yang ia berbai’at kepadanya. Dia menyerahkan keikhlasan dirinya, ketaatannya dan mengikuti perintahnya.”[5]
Sejarah ba’iat
Dalam sirah Nabawiyah pernah terjadi beberapa peristiwa yang menyebutkan
Nabi shalallahu’alaihi wassalam melakukan bai’at terhadap shahabat-shahabatnya.
Ketika masih periode dakwah Makkah, dikenal adanya peristiwa baitul ‘aqabah
pertama dan kedua. Yakni dimana para shahabat Anshar mengikrarkan beberapa janji kepada Nabi shalallahu’alihi
wassalam yang diantaranya siap membela beliau dengan harta dan nyawa jika sang
Nabi telah berada di Madinah.[6
Beliau shalallahu’alaihi wasslam kala itu bersabda :
تبايعوني على السمع والطاعة في النشاط والكسل وعلى النفقة في العسر واليسر وعلى الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وعلى أن تقولوا في الله لا يأخذكم في الله لومة لائم وعلى أن تنصروني إذا قدمت عليكم وتمنعوني ما تمنعون منه أنفسكم وأزواجكم وأبناءكم فلكم الجنة
“Kalian berbai’at kepadaku untuk mendengar dan taat, baik ketika sedang semangat ataupun selagi malas. Untuk memberi nafkah baik ketika sedang sulit maupun sedang longgar, untuk selalu amar ma’ruf nahi munkar, menyatakan kebenaran syariat Allah, tanpa takut dengan celaan apapun. Dan bai’at untuk membelaku jika aku datang ke negeri kalian, dan melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri kalian, istri kalian, dan anak kalian. Sehingga kalian mendapat surga. (HR. Ibn Majah)
Lalu yang paling terkenal adalah peristiwa yang disebut dengan Bai’atur Ridwan, di mana sayidina Utsman bin Affan yang diutus oleh Nabi shalallahu’alaihi wassalam untuk berunding dengan musyrik Quraisy diisukan dibunuh di kota Makkah. Maka Nabi shalallahu’alaihiwassalam bertekad untuk menuntut balas. Beliau kemudian meminta sumpah setia dari para shahabatnya untuk membela beliau hidup atau mati. Dan para shahabat kemudian membai’at beliau dalam urusan tersebut.[7]
لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًا
“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang yang beriman ketika mereka berbai’at kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath :18)
Hadits-hadits tentang bai’at
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada ikatan bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika ada dua khalifah yang dibai’at, maka bunuhlah yang dibai’at terakhir.” (HR. Muslim)
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرَ
“Siapa yang telah berbai’at kepada seorang imam yang telah ia berikan sumpah setia kepadanya, maka hendaklah ia mentaatinya semampunya. Jika ada yang datang (meminta bai’at) hendaklah dia berlepas darinya dan bunuhlah dia.” (HR. Muslim)
Ketika menjelaskan hadits ini al imam Ibnu Hajar berkata :
أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه، وأن طاعته خير من الخروج عليه
“Para ahli fiqih sepakat atas wajibnya menta’ati sultan yang terpilih untuk berjihad bersamanya. Dan sungguh mentaatinya lebih baik dari pada keluar untuk memberontak kepadanya.”[8]
Penggunaan bai’at yang tepat
Maka jelaslah, dengan melihat hadits-hadits yang telah disebutkan, bahwa yang dimaksud bai’at adalah sumpah setia kepada kepemimpinan yang mengatur urusan umat Islam dalam sebuah pemerintahan yang sah, bukan kepada selainnya.
Dalam sejarah Islam, bai’at hanya diberikan kepada seorang khalifah dan yang sederajat dengannya. Ketika seorang khalifah diangkat, sudah pasti tidak akan ada yang berani mengklaim diri sebagai khalifah tandingan, karena konsekuensinya sangat jelas, ia akan diperangi sebagai mana perintah dalam hadits Nabi di atas.
اتفقت الأمة جمعاء على وجوب طاعة الإمام العادل ...الواردة في ذلك كخبر: من بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر
“Dan telah bersepakat bulat para imam atas wajibnya ta’at kepada imam yang adil.”[9]
Itu mengapa dalam sejarah Islam, meskipun kerajaan dan kesultanan ada banyak, tapi hampir tidak ada yang berani mengklaim sebagai khalifah ketika khalifah sebelumnya masih ada meskipun sudah lemah dan hanya jadi simbol semata seperti yang terjadi di akhir kekuasaan kekhalifahan Abasiyyah.
Berkata syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah :
لقد أجمع المسلمون ... على أن تعيين الخليفة يتم بالبيعة
“Telah bersepakat kaum muslimin bahwa diangkatnya khalifah adalah lewat proses bai’at.”[10]
Sehingga bai’at secara istilah dan definisi sebenarnya, ia tidak mungkin diberikan kepada organisasi, madzhab, kelompok apalagi tokoh individu tertentu. Karena akan menjadi rusak pemaknaannya dan juga akan menyebabkan terjadinya kekacauan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin karena mereka akan saling bermusuhan dan berperang satu sama lain atas nama membela bai’at yang sah.
Dan perlu kita ketahui juga, tidak sembarangan seorang penguasa bisa mengklaim dan mendeklarasikan kekhalifahan dengan cara mengambil bai’ah semaunya, seperti yang juga dilakukan oleh kelompok tertentu. Ada syarat dan ketentuan yang sangat ketat, yang diantaranya harus disetujui oleh mayoritas ulama kaum muslimin.[11]
Jadi, andai kata saja misalnya presiden terpilih di 2024 nanti nekad mengangkat dirinya sebagai presiden Indonesia sekaligus khalifah umat Islam seluruh dunia, maka sudah bisa diduga itu tidak sah. Karena baru di syarat ini saja, sudah tidak bisa terpenuhi. Boro-boro mayoritas ulama dunia, ulama indonesia saja belum tentu banyak yang setuju...
Kalau yang presiden saja begitu, maka yang cuma jadi ketua RT atau setingkat tokoh pengajian tolong jangan ada yang nekad minta dibai’at untuk jadi khalifah. Bodoh sih boleh saja kalau dipakai sendiri, tapi kalau mau dipamerkan coba mikir dulu apa nggak malu ?
Lalu bagaimana dengan bai’at madzhab, tarikat dan kelompok ?
Dalam hal ini ada dua klasifikasi, pertama bila ba’iat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tarikat, harakah atau organisasi apapun itu tujuannya untuk mengklaim bai’at dengan definisi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka jelas ini adalah sebuah kesesatan.
Seperti kasus yang dilakukan oleh kelompok-kelompok takfir yang mengklaim wajibnya bai’at kepada tokoh atau golongan mereka. Mereka inilah yang kemudian memelintir dalil dari hadits-hadits yang telah kami sebutkan di atas untuk mendukung klaim sesuai dengan selera dan syahwat mereka. Mereka menjadikan hadits-hadits bai’at yang oleh Nabi tujuannya untuk menyatukan umat, tapi malah dijadikan senjata oleh kelompok sesat ini untuk memecah belah umat. Muhammad shalallahu’alaihi wassalam.
Tentang bantahan pendalilan ngawur mereka ini, insyaallah kami akan susunkan dalam tulisan tersendiri.
Dan yang kedua, bai’at yang dilakukan dengan tujuan sekedar mengambil sumpah setia, janji, komitmen anggota dan untuk menguatkan rasa saling tolong menolong sesama mereka, maka ini adalah bentuk bai’at yang merupakan kata ‘pinjaman’, bukan bai’at dalam arti yang sebenarnya.
Bai’at jenis ini tentu masih ada pembagiannya lagi. Pertama, jika isinya buruk seperti berbai’at mengajak kepada fanatik madzhab dan golongan, memberikan loyalitas lebih tinggi kepada kelompoknya dari pada ke Islam, maka jelas ini pun bentuk “bai’at” yang diharamkan.
Dan jenis yang terakhir bila isinya baik, ulama ada yang membolehkan, namun ada yang berpendapat tetap tidak boleh. Yang melarang tetap dengan dalil-dalil di atas, karena bai’at seperti ini meski dengan tujuan untuk mengikat janji, tapi bisa mengarah kepada penguatan fanatisme kelompok yang dilarang. Berapa banyak mereka yang mengaku berbai’at kepada suatu organisasi, akhirnya “dakwahnya” bukan lagi untuk Islam, tapi mengajak untuk ta’ashub kepada kelompoknya tersebut.
Sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan karena bai’at dalam arti janji setia atau saling mengikat janji terkadang dibutuhkan sebagai bentuk membangun komitmen dan tanggung jawab bersama. Contoh realnya adalah janji atau sumpah jabatan yang merupakan ba’iat para pejabat untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
Kesimpulan
Bai’at kelompok yang ada pada hari ini, bukanlah bai’at syar’i sebagaimana yang disebut dalam hadits dan dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Dan kita yang sudah kadung berbai’at kepada sebuah kelompok dan ternyata tidak sreg, ya keluar saja.
Nggak usah takut dan khawatir jadi kafir apalagi darahnya statusnya halal. Yakin 100 % itu hanya akal-akalan mantan kelompok anda saja, karena pendalilan mereka dengan hadits seperti di atas itu fatal ngawurnya. Paling banter jika kaitannya dengan dosa, itu jatuhnya melanggar sumpah. Dan sumpah yang tidak bisa ditunaikan, cukup bayar kafarahnya dengan memberi makan 10 orang miskin atau puasa selama tiga hari. Selesai.
Wallahu a’lam
[1] Al Misbah (4/222)
[2] Dzakhirul ‘Aqabi (32/201)
[3] Fath al Bari (1/92)
[4] Al Muqadimah hal. 209
[5] Bahrul Muhith (32/89)
[6] Sirah Nabawiyah li Ibn Hisyam hal. 372- 397
[7] Sirah Nabawiyah li Ibn Hisyam hal. 860
[8] Fath al Bari (16/112)
[9] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/226)
[10] Fiqh Islam wa Adilatuhu (8/6168)
[11] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (6/221-223)
0 comments
Post a Comment