MAKNA DIHAPUSNYA DOSA KARENA PUASA ARAFAH

Maaf kiyai izin bertanya tentang fadhilah puasa Arafah yang mengatakan bahwa bisa menghapus dosa dua tahun, apakah ini berarti dosa-dosa kita semua dihapus ? Ada teman yang mengatakan berarti tidak apa-apa jika seseorang bermaksiat jika selalu menjaga puasa Arafah ?

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Hadits tentang fadhilah puasa Arafah statusnya adalah hadits shahih. Dan ada beberapa redaksi yang berbeda yang saling melengkapi dan menguatkan satu sama lainnya, karena meskipun berbeda lafadz memiliki inti arti yang sama, berikut diantaranya :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

“Puasa hari Arafah adalah puasa yang aku berharap kepada Allah Dia menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya.” (HR. Muslim)

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Rasulullah shalallahu'alaihi wasssalam ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau bersabda : “Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR. Muslim) 

مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ غُفِرَ لَهُ سَنَةٌ أَمَامَهُ وَسَنَةٌ بَعْدَهُ

"Barangsiapa mengerjakan puasa 'Arafah, maka akan diampuni dosanya setahun yang akan datang dan setahun yang telah lalu.” (HR. Ibnu Majah)

 

مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ غُفِرَ لَهُ سَنَتَيْنِ مُتَتَابِعَتَيْنِ

 “Barangsiapa berpuasa pada hari Arafah, maka dosanya diampuni selama dua tahun berturut-turut.” (HR. Abu Ya’la)

سَأَلَ رَجُلٌ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ عَنْ صَوْمِ، يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ كُنَّا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ نَعْدِلُهُ بِصَوْمِ سَنَتَيْنِ


"Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab : “Kami dulu bersama Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam menyamakannya dengan puasa dua tahun.” (HR. Thabrani)

Penjelasan Hadits

Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dosa yang dihapus dalam hadits, termasuk bagaimana cara penghapusannya dan juga dosa apa saja yang terhapus dengan sebab puasa Arafah.

Al Imam Mawardi rahimahullah berkata :

صيام يوم عرفة كفارة سنتين ... كفارة السنة، والسنة التي تليها وفيه تأويلان: أحدهما: إن الله تعالى يغفر له ذنوب سنتين.والثاني: إن الله تعالى ‌يعصمه ‌في ‌هاتين ‌السنتين فلا يعصي فيهما

 “Puasa Arafah menghapus dosa dua tahun, yakni tahun ini dan tahun depannya. Tentang arti hal ini ada dua pendapat : Pertama, Allah menghapus dosa-dosanya selama dua tahun tersebut. Kedua, Allah akan menjaganya agar terhindar dari maksiat (dosa besar) selama dua tahun tersebut.”[1]

Al imam Nawawi rahimahullah berkata :

‌معناه ‌يكفر ‌ذنوب ‌صائمه ‌في ‌السنتين قالوا والمراد بها الصغائر وسبق بيان مثل هذا في تكفير الخطايا بالوضوء

 “Makna dihapuskannya dosa-dosa selama dua tahun karena berpuasa Arafah maksudnya adalah dosa-dosa kecilnya. Telah dijelaskan sebelumnya tentang penjelasan masalah ini dalam bab wudhu yang mana dengan berwudhu akan dihapus dosa-dosa kecil.”[2]

Beliau juga berkata :

وفي معنى هذه الأحاديث تأويلان أحدهما يكفر ‌الصغائر ‌بشرط ‌أن ‌لا ‌يكون ‌هناك ‌كبائر فإن كانت كبائر لم يكفر شيئا لا الكبائر ولا الصغائر. والثاني وهو الأصح المختار أنه يكفر كل الذنوب الصغائر وتقديره يغفر ذنوبه كلها إلا ... وأن الكبائر إنما تكفرها التوبة

 “Arti dari hadits ini ada dua pendapat : Pertama, dihapuskannya dosa-dosa kecil, dengan syarat ia tidak mengerjakan dosa-dosa besar di dalamnya. Kalau seseorang mengerjakan dosa besar, maka tidak akan ada yang diampuni, baik  dosa besarnya dan juga dosa kecilnya.

Kedua, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat lagi terpilih. Bahwa yang akan diampuni adalah dosa-dosa kecil. Jadi pemahamannya yang diampuni adalah dosa kecil, bukan dosa besar. Karena dosa besar itu dihapus dengan adanya taubat.”[3]

Al Imam Shan’ani rahimahullah berkata :

قد ‌استشكل ‌تكفير ‌ما ‌لم ‌يقع ‌وهو ‌ذنب ‌السنة ‌الآتية، وأجيب بأن المراد أن يوفق فيها لعدم الإتيان بذنب وسماه تكفيرا لمناسبة الماضية أو أنه إن أوقع فيه ذنبا وفق للإتيان بما يكفره

 

“(Ada yang mengatakan) bahwa perkara yang sulit dipahami bahwa akan dihapus dosa yang belum terjadi di tahun depan. Jawabannya adalah bahwa yang dimaksudkan adalah ia diberi taufiq pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diberi taufiq untuk melakukan sesuatu yang akan menghapuskannya (semisal dengan bertaubat).[4] 

Mereka yang tertipu dan melampaui batas

Model orang yang suka gagal paham seperti itu sudah ada sejak zaman dahulu. Disebutkan dalam al Mausu’ah :

يغتر بعض المغرورين بالاعتماد على مثل صوم يوم عاشوراء أو يوم عرفة، حتى يقول بعضهم: صوم يوم عاشوراء يكفر ذنوب العام كلها ويبقى صوم عرفة زيادة في الأجر

 “Telah tertipu sebagian orang yang melampaui batas karena merasa cukup dengan amalannya seperti selalu menjaga puasa Asyura atau puasa Arafah. Sampai sebagian mereka ada yang mengatakan : “Puasa Asyura menghapus semua dosa-dosa selama setahun. Maka sudah pasti puasa Arafah berfungsi untuk menambah pahala saja.”[5]

Al Imam Ibnul Qayim rahimahullah menjelaskan :

لم يدر هذا المغتر أن صوم رمضان والصلوات الخمس أعظم وأجل من صيام يوم عرفة ويوم عاشوراء، وهي إنما تكفر ما بينهما إذا اجتنبت الكبائر، فرمضان إلى رمضان، والجمعة إلى الجمعة لا يقويان على تكفير الصغائر إلا مع انضمام ترك الكبائر إليها

  “Orang-orang yang tertipu ini sepertinya tidak menyadari bahwa puasa Ramadhan dan shalat lima waktu lebih agung dan lebih utama dari puasa Arafah dan puasa Asyura. Sedangkan keduanya saja (puasa Ramadhan dan shalat lima waktu) bisa menghapus dosa-dosa kecil jika dijauhi dosa besar. Begitu juga Jum’at ke jum’at berikutnya tidak bisa menghapus dosa kecil jika tidak dijauhi dosa-dosa besar.

فيقوى مجموع الأمرين على تكفير الصغائر

 Dengan digabungkan dua hal ini (yakni mengerjakan amalnya dan menjauhi dosa besar)  barulah amalan tersebut bisa diharapkan untuk  menghapus dosa-dosa kecil.”[6]

Berkata al imam Ghazali rahimahullah :

ومن المغرورين من يظن أن طاعاته أكثر من معاصيه؛ لأنه لا يحاسب نفسه على سيئاته ولا يتفقد ذنوبه، وإذا عمل طاعة حفظها واعتد بها، كالذي يستغفر الله بلسانه أو يسبح الله في اليوم مائة مرة، ثم يغتاب المسلمين ويمزق أعراضهم، ويتكلم بما لا يرضاه الله طول نهاره، فهذا أبدا يتأمل في فضائل التسبيحات والتهليلات ولا يلتفت إلى ما ورد من عقوبة المغتابين والكذابين والنمامين، إلى غير ذلك من آفات اللسان، وذلك محض غرور

 “Dan orang-orang yang tertipu ini  mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya. Karena mereka ini tidak mau menghisab dirinya atas keburukan-keburukan yang telah ia lakukan dan tidak mau meneliti akan dosa-dosanya.

 Sedangkan mereka ini apabila mengerjakan satu keta’atan saja, maka ia akan menghapalnya dan menghitungnya seperti orang  yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali.

Tapi kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia berbicara dengan sesuatu yang tidak Allah subhanahu wata’ala ridhai di sepanjang harinya.

 Orang seperti ini selalu melihat dalil tentang keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada dalil-dalil agama berupa ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta berbagai penyakit-penyakit lisan lainnya.

Orang seperti ini adalah yang sudah jauh terjerumus ke dalam lembah ketergelinciran.”[7]

Jadi artinya, untuk bisa mendapatkan keutamaan dihapuskan dosa-dosa dalam dua tahun dengan puasa Arafah, kita juga harus menjaga diri dari dosa-dosa besar.

Kesimpulan

Bahwa yang dimaksud dalam hadits dengan diampuninya dosa-dosa karena sebab puasa Arafah adalah dosa kecil bukan mutlak semua dosa dihapus. Apalagi seseorang bisa seenaknya berbuat maksiat karena mengira bahwa dosanya pasti akan diampuni karena sudah mengerjakan puasa Arafah tiap tahun secara rutin.

Justru di satu sisi itu akan menjadi bukti yang menunjukkan jika puasa Arafahnya tidak diterima oleh Allah. Karena dia tidak dijaga dari mengerjakan dosa-dosa sebagaimana makna yang telah dijelaskan oleh sebagian ulama.


Wallahu a'lam


[1] Al Hawi al Kabir (3/472)

[2] Syarah Shahih Muslim (8/51)

[3] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (6/382)

[4] Subul as Salam (2/581)

[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (31/190)

[6] Da’ wa Dawa’ hal. 27

[7] Ihya Ulumuddin (3/376)

0 comments

Post a Comment