SEPUTAR HUKUM DAGING QURBAN NADZAR

Izin Yai, selama ini kami tahunya bahwa daging qurban yang wajib (nadzar) shahibul qurbannya tidak boleh ikut memakan dagingnya. Dan apakah daging qurban nadzar hanya boleh didistribuskan kepada faqir miskin saja ?

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Tentang hukum orang yang bernadzar untuk berqurban apakah ia boleh atau tidak memakan dagingnya sebenarnya ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ahli ilmu ada yang mengharamkan, namun sebagian yang lainnya mengatakan hukumnya boleh. Jadi ini adalah ranah khilafiyah, bukan hal yang sifatnya mutlaq alias disepakati oleh ulama.

Disebutkan dalam al Mausu’ah :

أما إذا وجبت الأضحية ففي حكم الأكل منها اختلف الفقهاء

“...Adapun jika qurban yang wajib, maka hukum memakan sebagian dagingnya (bagi orang yang berqurban)  hukumnya diperbeda pendapatkan oleh para fuqaha.”[1]

1. Kalangan yang melarang

Kalangan Hanafiyah dan pendapat yang mu’tamad dari madzhab Syafi’i menyatakan bahwa tidak boleh bagi orang yang berqurban nadzar untuk memakan daging hewannya. Semuanya harus dibagikan kepada orang lain.

Dalam pandangan kelompok pendapat ini mengapa qurban nadzar itu tidak boleh dimakan oleh pemiliknya, karena pada hakikatnya ia telah berjanji dengan qurbannya itu untuk bersedekah. Dan tentu tidak bisa disebut sedekah jika pemiliknya sendiri yang ikut menerimanya. Sehingga Qurban karena ia sudah menjadi sedekah, harus dibagikan secara keseluruhan.

Berkata As Saghnaqi al Hanafi rahimahullah :

وأمّا في ‌الأضحية المنذورة سواء كانت من الغني أو الفقير فليس لصاحبها

“Adapun qurban yang dinadzarkan baik dari orang kaya maupun orang miskin, maka tidak boleh bagi yang berqurban untuk memakan dagingnya.”[2]

Ibnu Najim al Hanafi rahimahullah berkata :

لا يجوز ‌الأكل من بقية الهدايا كدماء الكفارات كلها والنذور

 “Tidak dibolehkan untuk memakan semua bagian dari sembelihan dam (denda), kafarat dan nadzar.”[3]

Al imam Ramli asy Syafi’i berkata :

فيحرم عليه أكله من ‌الأضحية ‌الواجبة

“Maka diharamkan bagi seseorang dari ikut memakan qurban wajibnya.”[4]

Syaikh Muhammad Syatha ad Dimyathi asy Syafi’i berkata :

‌ويحرم ‌الاكل ‌من ‌أضحية ‌أو ‌هدي ‌وجبا ‌بنذره

 “Dan diharamkan dari memakan daging qurban atau sembelihan yang wajib karena nadzar.”[5]

2.Kalangan yang membolehkan

Kalangan ulama Malikiyyah dan pendapat yang kuat dari Hanabilah lalu juga diikuti oleh sebagian syafi’iyyah  menyatakan bahwa hukum orang yang bernadzar dengan qurbannya tetap dibolehkan untuk memakan sebagian daging dari hewan sembelihannya.

Dalil yang digunakan oleh kalangan ini adalah keumuman perintah dalam syariat baik dalam al Qur’an maupun hadits-hadits yang membolehkan untuk memakan daging qurban tanpa adanya pengecualian apapun. Seperti firman Allah ta’ala :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang kesulitan dan fakir.(QS. Al Hajj : 28)

Kalangan Malikiyah dan Hanabilah menambahkan bahwa qurban nadzar itu tidak ada bedanya dengan qurban sunnah kecuali ia wajib untuk dilaksanakan karena sudah termasuk janji yang harus ditepati. Tapi nadzar tidak merubah esensi qurban yang disembelih untuk dinikmati dagingnya oleh siapapun termasuk pemiliknya.

Berikut diantara beberapa petikan fatwa pendukung pendapat yang kedua ini :

Malikiyah

Muhammad bin Yusuf al Maliki rahimahullah berkata :

 وأما ‌النذر ‌المضمون إذا لم يسمه للمساكين يأكل منه بعد

“Adapun qurban nadzar yang tidak dikhususkan untuk diberikan kepada orang-orang miskin maka diperbolehkan untuk turut memakannya.”[6]

Muhamad al A’mami rahimahullah berkata :

‌النذر المعين للمساكين، كقوله: علي أن أهدي هذه البدنة للمساكين، فليس له أن يأكل منه مطلقا، وأما ‌النذر المضمون فكالتطوع

“Adapun qurban nadzar yang dikhususkan kepada orang miskin, seperti orang yang mengatakan : ‘Aku membagikan daging qurbanku ini hanya untuk orang miskin,’ maka dia tidak boleh memakan dagingnya secara mutlak. Sedangkan nadzar yang sifatnya umum maka ia tak ubahnya seperti qurban yang sunnah.”[7]

Hanabilah

Al Imam Zarkasyi rahimahullah berkata :

كالأضحية المنذورة على قول الأكثرين... جواز الأكل من ‌الأضحية المنذورة أيضا

“Seperti halnya qurban yang dinadzarkan maka kebanyakannya berpendapat bolehnya juga memakan qurban nadzar.”[8]

Sebagian Syafi’iyyah

Berkata al imam ar Ruyani rahimahullah :

وقال بعض أصحابنا بخراسان: يجوز ‌الأكل من ‌الأضحية ‌الواجبة، لأن لفظ الأضحية دليل على جواز ‌الأكل

 “Dan sebagian Syafi’iyyah di Khurasan menyatakan bolehnya memakan qurban yang wajib. Karena lafadz qurban itu sendiri menunjukkan kebolehannya secara asal untuk dimakan dagingnya.”[9]

Apakah hanya untuk faqir miskin ?

Ulama juga berbeda pendapat tentang apakah nadzar itu hanya boleh didistribusikan kepada faqir miskin ataukah ke semua pihak termasuk orang kaya ? Kalangan Malikiyah, Hanabilah sebagian syafi’iyyah, mengatakan boleh dibagikan sebagaimana cara pembagian qurban pada umumnya.

Demikian juga kalangan Madzhab Hanafi menyeberang turut mendukung bolehnya membagikan daging qurban nadzar kepada orang kaya sebagaimana yang dinyatakan oleh al imam Ibnu Abidin dan juga al imam al Kasani rahimahumallah.[10]

Sedangkan pendapat yang mu’tamad dari madzhab Syafi’iyah mengatakan hanya boleh diberikan kepada para faqir miskin saja.[11]

Kesimpulan

Tentang hukum daging hewan qurban yang wajib yakni karena sebab nadzar ulama berbeda pendapat, sebagian mengharamkan pemiliknya dari memakan sebagian dagingnya, sedangkan mayoritas ulama membolehkan.

 Sedangkan untuk distribusinya, mayoritas ulama mengatakan ia boleh dibagikan kepada siapapun dari kaum muslimin, baik dari kalangan orang kayanya maupun yang miskin.

Sehingga panitia Qurban tidak usah resah dalam hal ini. Jika memang suatu hal yang merepotkan bila harus memilah daging qurban nadzar, maka bisa mengikuti pendapat mayoritas ulama yang membolehkan ia dibagikan sebagaimana qurban sunnah.

 

Wallahu a’lam.

 



[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/115)

[2] An Nihayah fi Syarh al Hidayah (23/38)

[3] Bahrur Raqaiq (3/76)

[4] Fatawa ar Ramli (4/69)

[5] I’anah ath Thalibin (2/378)

[6] Taj al Iklil (4/282)

[7] ‘Aun al Matin hal. 445

[8] Syarh az Zarkasyi (7/28)

[9] Bahrul Madzhab (4/100)

[10] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/115)

[11] Al Muhadzdzab (1/245)

0 comments

Post a Comment