SHALAT JUM’AT TIDAK DI MASJID

 Afwan kiyai, kami karyawan karena satu keterbatasan tidak melaksanakan shalat Jum’at di masjid, tapi di gedung yang sebenarnya peruntukkannya adalah aula. Ada salah satu ustadz yang mengatakan bahwa shalat Jum’at kami tidak sah dan beliau setiap kali terjadwal khatib di tempat kami biasanya akan mengulang shalat Dzuhur. Mohon penjelasan dari kiyai tentang hukum sebenarnya.

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Tentang shalat jum’at yang dikerjakan di tempat selain masjid, semisal di kantor, gedung olahraga, termasuk jalanan, memang para ulama berbeda pendapat hukumnya. Sebagian ulama mensyaratkan shalat Jum’at harus dilaksanakan di masjid, sehingga bila dikerjakan di tempat selainnya, shalat Jum’atnya tidak sah. Bahkan ini tidak sembarang masjid, tapi masjid yang dikumandangkan adzan shalat lima waktu secara rutin di dalamnya.

            Namun mayoritas ulama madzhab berpendapat sebaliknya, shalat Jum’at boleh saja dikerjakan di manapun asalkan terpenuhi syarat dan rukunnya.[1] Langsung saja kita simak penjelasan masing-masing pendapat.

1.Yang melarang

Kalangan Madzhab Malikiyyah adalah yang berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak sah kecuali dilaksanakan di dalam masjid. Dalil yang digunakan adalah amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam yang tidak pernah melaksanakan shalat Jum’at kecuali di masjid.

Fatwa kalangan Malikiyyah tentang perkara ini diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Syaikh Ahmad bin Ghanim al Azhari :

ووقوع الصلاة والخطبة في الجامع المبني على وجه العادة وأن يكون متحدا وأن يكون متصلا بالبلد أو في حكم المتصل حين بنائه

 "Shalat jum’at dan pembacaan khutbah harus diadakan di masjid Jami’ yang bentuknya berupa bangunan sebagaimana pada umumnya, bangunan itu menyatu dan menyambung dengan suatu daerah tempat tinggal.”[2]

Juga oleh ulama-ulama Malikiyah lainnya diantaranya al Imam Khalil al Maliki rahimahullah dengan fatwanya :

شروط صحة الجمعة ...وبجامع مبني متحد


”Dan diantara syarat sahnya Jum’at adalah ...harus dikerjakan di masjid jami, yang ada batas bangunannya.”[3]

Berkata al imam Ibnu Rusyd al Maliki rahimahullah :

‌لا ‌يصح ‌أن ‌تقام ‌الجمعة ‌في ‌غير ‌مسجد

“Tidak sah shalat Jum’at yang dikerjakan di tempat selain masjid.”[4]

Berkata al imam Abu Walid al Baji rahimahullah :

 

إذ يشترط أنها ‌لا ‌تقام ‌إلا ‌في ‌الجامع المخصوص لها

“Disyaratkan bahwa ia (shalat Jum’at) tidak boleh ditegakkan kecuali di masjid raya yang dikhususkan bangunannya.”[5]

2. Yang membolehkan

Adapun jumhur ulama madzhab dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan juga Hanabilah membolehkan shalat jumat dikerjakan di tempat selain masjid. Berikut fatwa –fatwa para ulama yang mendukung pendapat ini.

A. Al Ahnaf

Madzhab Hanafiyyah menetapkan bahwa shalat Jum’at boleh dikerjakan di manapun dengan syarat tempat tersebut tidak dilarang oleh penguasa untuk ditegakkannya shalat Jum’at padanya.

Berkata al imam Zaila’i al Hanafi rahimahullah :

فإن فتح باب قصره وأذن للناس بالدخول: جاز ، ويكره ; لأنه لم يقض حق المسجد الجامع

 

"Ketika seorang penguasa membuka pintu istananya dan mengizinkan masyarakat untuk masuk (shalat jum’at disitu), maka hukumnya boleh tetapi makruh. Karena si pemimpin itu tidak menunaikan hak masjid Jami’.[6]

Fatwa yang sama juga dinyatakan oleh al imam Ibnu Abidin, Ibnu Najim al Bashri dan lainnya rahimahumullah.[7]

B. Syafi’iyyah

Kalangan madzhab Syafi’iyyah tidak mensyaratkan pelaksanaan shalat Jum’at harus dikerjakan di dalam masjid. Berkata Muhyiddin al Imam Nawawi rahimahullah :

قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتها

 "Sahabat-sahabat kami syafi’iyyah berkata : (shalat jum’at) tidak harus dilaksanakan di masjid, tetapi boleh dilapangan, asalkan masih di tengah-tengah kampung atau wilayah tertentu.”[8]

Al Imam Ghazali rahimahullah berkata :

‌ولا ‌يشترط ‌أن ‌يعقد ‌الجمعة ‌في ‌ركن ‌أو ‌مسجد بل يجوز في الصحراء إذا كان معدودا من خطة البلد بحيث يترخص المسافر إذا انتهى إليه لم تنعقد إليه لم تنعقد الجمعة فيها

"Shalat Jum’at tidak disyariatkan untuk dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil keringanan di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut.”[9]

Dalam literatur fiqih syafi’iyyah lainnya disebutkan boleh shalat Jum’at dikerjakan bukan di masjid namun harus berada di lingkungan yang dikelilingi oleh bangunan atau rumah-rumah perkampungan, sedangkan pendapat lainnya membolehkan berada di lapangan luas meskipun di pinggir perkampungan.[10]

C. Al Hanabilah

Pendapat kalangan Hanabilah dalam masalah ini terwakili oleh beberapa fatwa ulama madzhab Hanbali diantaranya adalah al imam Ibnu Qudamah rahimahullah :

‌ولا ‌يشترط ‌لصحة ‌الجمعة ‌إقامتها ‌في ‌البنيان، ويجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء

 

“Keabsahan shalat Jumat tidak disyaratkan harus dilakukan di antara bangunan. Dan boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah juga.”[11]

Al Imam Mardawi al hanbali rahimahullah berkata :


‌ويجوز ‌إقامتها ‌فى ‌الأبنية ‌المتفرقة إذا شملها اسم واحد، وفيما قارب البنيان من الصحراء


Boleh melaksanakan shalat jumat di sekitar bangunan yang terpisah-pisah, jika masih dalam satu daerah. Atau jumatan di tanah lapang yang posisinya masih dekat dengan perkampungan.[12]

Dalil pendapat yang membolehkan

Adapun dalil yang digunakan oleh mayoritas ulama dalam membolehkan shalat Jum’at dikerjakan di selain masjid adalah, pertama keumuman hadits :

 

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ

 “Semua tempat di muka bumi adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dan kedua adalah sebuat atsar dari shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata :

 

‌أَنَّهُمْ ‌كَتَبُوا ‌إِلَى ‌عُمَرَ، يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ، فَكَتَبَ: «جَمِّعُوا حَيْثُ كُنْتُمْ

Para sahabat menulis surat kepada Umar, menanyakan kepada beliau tentang shalat jumat. Kemudian Umar membalas :  ’Laksanakanlah shalat Jum’at di manapun kalian berada.[13]

Kesimpulan

Walhasil, ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah boleh tidaknya shalat Jum’at dikerjakan bukan di masjid. Sebab perbedaan pendapat karena memang tidak ada nas Qur’an dan al Hadits yang secara tegas dan jelas mengatur tempat pelaksanaan shalat Jum’at.

Dan adab dalam masalah khilaf, sangat tidak bijaksana bila kita mengecilkan dan melecehkan saudara kita yang melaksanakan shalat Jum’at selain di masjid karena sebuah alasan yang bisa diterima.

Praktek shalat Jum’at yang dikerjakan bukan di masjid bukanlah hal baru dalam literatul sejarah Islam. Bahkan di masa Sultan Muhammad al Fatih pernah dilaksanakan shalat Jum’at di jalanan yang diikuti oleh lautan manusia sepanjang 4 Km.

Lagian kalau mau konsekuen mengikuti pendapat madzhab Maliki yang tidak membolehkan, rasanya akan sangat banyak yang perlu direvisi, karena hampir semua shalat Jum’at di negeri kita hari ini tidak bersesuaian dengan paham madzhab Maliki, yang menetapkan :  (1) Khatib harus merangkap menjadi imam shalat Jum’at (2) Khutbah Jum’at wajib Bahasa Arab. Iya Bahasa Arab, Arab fushah, Arab beneran, bukan Orab pati nggenah…

Wallahu a’lam.



[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/196), Fqih al Islami wa Adillatuhu (2/1302), al Mausu’ah Fiqh al Islami (19/150), Fiqh ‘ala Madzhab al ‘Arba’ah (1/134-137)

[2] Al Fawakih ad-Dawani (1/ 260).

[3] Mukhtashar Khalil hal. 44

[4] Taj wal Iklil (2/520)

[5] At Tanbihat (1/255)

[6] Tabyin al Haqaiq Syarh Kanzul Daqaiq (1/221).

[7] Hasyiyah Ibnu Abidin (2/152), Bahr ar Raqaiq (2/163).

[8] Majmu’ asy Syarhul Mauhadzab (4/501).

[9] Al Washith fi al Madzhab (2/263)

[10] Mughni al Muhtaj (1/543), Minhaj at Thalibin hal. 40. Al Mughni (3/209)

[11] Al Mughni li Ibn Qudamah (3/209)

[12] Al Inshaf (5/196)

[13] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (1/440)

0 comments

Post a Comment