TAKBIR DAN TASMI’ BAGI MAKMUM

Maaf kyai, saya izin untuk bertanya, apakah makmum itu ketika shalat berjama’ah juga perintahkan untuk mengucap takbir gerakan shalat termasuk membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk ? Ataukah cukup takbiratul ihram saja untuk bacaan takbirnya, selebihnya diam karena mengikuti bacaan-bacaan imam ?

Jawaban

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Saat mengerjakan shalat sebagaimana yang kita ketahui ada ucapan takbir ketika seseorang melakukan perpindahan posisi dalam shalatnya, seperti rukuk dan sujud. Semua gerakan itu diiringi lafadz “Allahu akbar” kecuali pada gerakan bangkit dari ruku’ yakni dengan mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” yang diistilahkan juga dengan ‘tasmi’ bangkit dari rukuk.

Takbir yang ducapkan saat dimulainya shalat disebut dengan takbiratul Ihram, sedangkan takbir lainnya disebut dengan takbir intiqal. Intiqal artinya perpindahan. Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah berkata tentang masalah ini :

وهو ثابت بإجماع الأمة

“Dan hal ini telah disepakati oleh seluruh umat Islam.”[1]

Untuk takbiratul ihram ulama sepakat hukumnya adalah wajib, sedangkan untuk takbir intiqal termasuk tasmi’ ketika bangkit untuk i’tidal hukumnya adalah sunnah. Kesunnahannnya adalah membaca lirih seukuran didengar oleh dirinya sendiri, tidak oleh orang lain apalagi dengan suaranya meninggi kecuali bagi imam. Disebutkan dalam al Mausu’ah :

ذهب جمهور الفقهاء إلى استحباب الإسرار بالتكبيرات في حق المأموم والمنفرد. ومحل الإسرار في حق المأموم إن لم يكن مبلغا وإلا جهر بقدر الحاجة

“Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa disunnahkan untuk memelankan takbir-takbir intiqal bagi orang yang menjadi makmum atau shalat sendiri. Dan pelan bagi makmum jika dia tidak berposisi sebagai orang yang meneruskan bacaan imam (mubaligh). Jika dia sebagai penyambung suara imam (mubaligh), maka ia mengeraskan suara seukuran yang dibutuhkan.”[2]

Berikut ini mari kita simak fatwa-fatwa dari para ulama madzhab tentang kesunnahan takbir dan tasmi’ dalam perpindahan gerakan shalat.

Madzhab Hanafi

Berkata al imam Ibnu Abidin rahimahullah :

وجهر الإمام بالتكبير بقدر حاجته للإعلام بالدخول والانتقال. وكذا بالتسميع والسلام. ‌وأما ‌المؤتم ‌والمنفرد ‌فيسمع ‌نفسه

“Imam hendaknya mengeraskan bacaan takbirnya dengan ukuran agar jelas masuknya perpindahan gerakan shalat. Demikian juga dengan bacaan tasmi’ (sami’allah liman Hamidah) dan ucapan salam. Sedangkan bagi makmum atau orang yang shalat sendiri cukup seukuran didengar oleh dirinya sendiri.”[3]

Madzhab Maliki

Al Imam Dusuqi rahimahullah berkata :

وأما ‌الجهر ‌بتكبيرة ‌الإحرام ‌فهو ‌مندوب ‌لكل ‌مصل ‌إماما أو مأموما أو فذا وإما الجهر بغيرها من التكبير فيندب للإمام دون غيره فالأفضل له الإسرار به

“Adapun mengeraskan takbiratul ihram adalah sunnah untuk setiap orang yang sedang shalat baik dia menjadi imam, makmum atau pun hsalat sendiri. Dan mengeraskan selain dari takbiratul ihram kesunnahannya hanya bagi imam, tidak untuk selainnya. Yang lebih utama bagi selainnya adalah memelankan takbir tersebut.”[4]

Madzhab Syafi’i

Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

‌وهذه ‌كلها ‌عندنا ‌سنة ‌الا ‌تكبيرة ‌الحرام ‌فهي ‌فرض ‌هذا ‌مذهبنا ومذهب جمهور العلماء من الصحابة والتابعين ومن بعدهم

“Bacaan Intiqal ini semuanya sunnah, kecuali takbiratul Ihram dia hukumnya wajib, ini adalah pendapat dalam madzhab kami dan juga mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka.”[5]

Madzhab Hanbali

Al imam Buhuti rahimahullah berkata :

‌ويكره ‌جهر ‌مأموم في الصلاة بشيء من أقوالها؛ لأنه يخلط على غيره إلا بتكبير، وتحميد، وسلام لحاجة بأن كان الإِمام لا يسمع جميعهم

“Dan dimakruhkan bagi makmum di dalam shalatnya untuk mengeraskan apapun dari ucapannya, karena itu akan mengganggu diantara mereka. Kecuali dalam takbiratul Ihram, bacaan tahmid, dan ucapan salam jika ada hajat semisal suara imam yang tidak terdengar oleh semua jama’ah.”[6]

Dalil-dalilnya

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ خَلْفَهُ، فَإِذَا كَبَّرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌كَبَّرَ ‌أَبُو ‌بَكْرٍ ‌لِيُسْمِعَنَا

“Kami shalat bersama Nabi shalallahu’alaihi wassalam sednagkan Abu Bakar ada di belakang beliau. Dan jika beliau bertakbir, maka Abu Bakar juga bertakbir agar kami bisa mendengar takbirnya.” (HR. Muslim)

جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، ‌فَإِذَا ‌كَبَّرَ ‌فَكَبِّرُوا

“Imam itu untuk diikuti, jika dia bertakbir, maka bertakbirlah.” (HR. Abu Daud)

Benarkah makmum tidak disunnahkan membaca tasmi’ ketika bangkit dari ruku ?

Khusus bacaan ‘sami’allahu liman hamidah’ untuk makmum, memang ada sebagian kalangan yakni dari madzhab Malikiyah yang menyatakan demikian, mereka berdalil dengan hadits berikut ini :

إِذَا قَالَ اْلإِمَامُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

“Jika imam berkata, ‘sami’allahu liman hamidah,’ maka katakanlah, ’Rabbana wa lakal hamdu.’” (HR. Tirmidzi)

Berkata Ats Tsa’labi al Maliki rahimahullah :

فأما الإمام فيقول إذا رفع رأسه سمع الله لمن حمده ولا يقول ربنا ولك الحمد ‌والمأموم ‌لا ‌يقول ‌سمع ‌الله ‌لمن ‌حمده ويقول اللهم ربنا ولك الحمد والمنفرد يجمع الأمرين

“Adapun imam ketika ia mengangkat kepalanya saat bangkit dari rukuk maka ia mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’  dan tidak membaca ‘ rabbana walakal hamdu’. Sedangkan makmum tidak mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’ tapi mengucapkan ‘ rabbana walakal hamdu’. Adapun orang yang shalat sendiri, ia menggabungkan dua bacaan tersebut.”[7]

Namun mayoritas ulama madzhab tidak menjadikan hadits di atas sebagai dalil untuk mengatakan makmum tidak disunnahkan membaca tasmi’ saat bangkit dari ruku’. Karena pendalilan yang demikian dianggap tidaklah tepat. Sebagaimana adanya hadits yang berbunyi :

إِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ فَقُوْلُوْا آمِيْن

“Jika imam berkata, ‘Ghairil magdhubi alaihim waladhallin,’ maka katakanlah, ’Amin.’” (HR. Bukhari)

Ini bukan berarti imam tidak disunnahkan membaca amin, karena hadits di atas harus dikompromikan dengan hadits lainnya yang menyebutkan sebagai berikut :  

إِذَا أَمَّنَ اْلإِمَامُ فَأَمِّنُوْا

“Jika imam membaca ‘amin’ maka aminkanlah.” (HR. Bukhari)

Maka, sama juga dengan hadits dalam masalah ini, yang menyebutkan seakan-akan makmum tinggal menyambung bacaan tasmi’ imam dengan doa : “Rabbana walakalhamdu”, karena ada hadits lainnya yang berbunyi :

وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ يَقُولُ: ‌سَمِعَ ‌اللهُ ‌لِمَنْ ‌حَمِدَهُ، ‌رَبَّنَا ‌وَلَكَ ‌الْحَمْدُ.

“Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam jika mengangkat kepalanya bangkit dari rukuk mengucapkan : ‘sami’allahu liman hamidah, Rabbana walakal hamdu.” (HR. Bukhari)

 

Jika hadits tersebut di pahami bahwa makmum tidak disunnahkan mengucapkan tasmi’ saat I’tidal, berarti imam juga tidak disunnahkan untuk membaca rabbana lakal hamdu,  maka akan ada banyak perbedaan imam dan makmum di dalam shalat.

Padahal antara keduanya secara hukum asal, memiliki kesamaan dalam pelaksaan rangkaian ibadah shalat, apa yang disunnahkan untuk imam, itu juga disunnahkan untuk makmum, kecuali memang ada dalil khusus yang menyatakan sebaliknya.

Karena itu kalangan Syafi’iyyah menegaskan kesunnahan bagi makmum dan imam untuk membaca ‘tasmi’ dan tahmid’ ketika bangkit dari ruku’. Hanya saja bedanya seperti pada bacaan lainnya, imam disunnahkan menjahrkan, sedangkan makmum mensirrkannya.

Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

يستوي ‌في ‌استحباب ‌هذين ‌الذكرين ‌الإمام ‌والمأموم ‌والمنفرد

“Sama saja kesunnahan untuk membaca dua dzikir ini (takbir dan tasmi’) bagi imam, makmum ataupun orang yang shalat sendiri.”[8]

Sedangkan dalam madzhab Hanafiyah dan Hanabilah, jika makmum tidak membaca tasmi’ saat bangkit dari rukuk, itu dianggap mencukupi, alias tidak makruh.[9]

Wallahu a’lam.



[1] Fiqh Islami wa Adillatuhu (2/889)

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (16/180)

[3] Hasiyah Ibnu Abidin (1/475)

[4] Hasyiah ad Dusuqi (1/244)

[5] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (3/397)

[6] Kasyf al Qina (2/288)

[7] At Talqin fi Fiqhi al Maliki (1/46)

[8] Raudhatut Thalibin (1/252)

[9] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/892)

0 comments

Post a Comment