Ustadz bagaimana pendapat para ulama madzab
tentnag qunut shubuh ?
Jawaban
Qunut secara bahasa memiliki
beberapa arti diantaranya ta’at,
shalat dengan berdiri lama, diam dengan tenang dan berdoa.[1] Qunut dengan arti diam dengan tenang bisa kita
jumpai dalam firman Allah ta’ala :
وَقُومُوا
لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah
menghadap Allah (shalat) dengan tenang.” (QS. Al Baqarah: 238)
Sedangkan
qunut dengan arti berdiri lama ada dalam sabda Nabi shalallahu‘alaihi wassalam berikut
ini :
أَفْضَلُ
الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Shalat yang paling utama adalah yang panjang
berdirinya.” (HR.
Muslim)
Adapun secara istilah fiqih, Qunut didefinisikan oleh
Ibnu ‘alan dengan :
القنوت عند أهل الشرع اسم للدعاء في الصلاة في محل مخصوص من القيام
“Qunut menurut para ahli
syariat adalah sebuah istilah untuk do’a di
dalam shalat yang dilakukan pada saat tertentu ketika berdiri.”[2]
Dan Qunut
dalam shalat ini terbagi menjadi tiga yaitu qunut nazilah, qunut witir dan qunut Shubuh.[3] Dan kali ini kita membahas
tentang permasalahan yang selalu hangat dibicarakan, semacam icon dalam masalah
khilafiyah yakni Qunut shubuh.
Hukum Qunut Shubuh
Para ulama sejak zaman generasi terbaik umat ini
telah berbeda pendapat tentang qunut Shubuh, berkata al imam Tirmidzi
rahimahullah : “Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang Qunut pada shalat shalat
Shubuh. Sebagian ahli ilmu dari sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam
dan lainnya berpendapat bahwa Qunut ada pada shalat Shubuh, dan ini juga adalah
pendapat Malik dan Asy Syafi’i. Sedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak
ada Qunut pada shalat Shubuh kecuali saat terjadi musibah yang menimpa kaum
muslimin.”[4]
Mari kita simak pendapat para ulama madzhab tentang permasalahan ini.
A. Al Hanafiyah
Menurut kalangan ulama madzab ini qunut Shubuh
tidaklah disyariatkan.[5] Pendapat ini disandarkan
kepada beberapa riwayat yang secara
tegas menerangkan bahwa Qunut telah ditinggalkan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi
wassalam :
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَنَتَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ شَهْرًا يَدْعُو فِي قُنُوتِهِ عَلَى
أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ، ثُمَّ تَرَكَهُ
“Bahwa
Nabi shalallahu’alaihi wassalam berqunut dalam shalat shubuh selama satu bulan
untuk mendoakan kecelakan satu kabilah Arab kemudian beliau meninggalkannya.” (HR.
Bukhari)
Begitu juga disebutkan dalam hadits dari Abi Malik Sa’ad bin Thariq al Asyja'i :
قُلْتُ
لأِبِي : يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُول اللَّهِ
وَأَبِي
بَكْرٍ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَاهُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ
أَكَانُوا يَقْنُتُونَ ؟ قَال : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ . وَفِي لَفْظٍ : يَا
بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ
“Aku bertanya kepada
Ayahku : Wahai Ayah, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Utsman dan Ali disini
di Kufah, selama lima tahun, apakah mereka membaca doa qunut?". Ayahku
menjawab, "Wahai
anakku itu adalah perkara muhdats (hal baru yang diada-adakan). Dalam lain riwayat : wahai anakku,
qunut itu bid'ah". (HR. Tirmidzi dan Nasa'i)
B. Al Malikiyah
Pendapat yang masyhur dalam madzab ini adalah bahwa
Qunut shubuh sunnah dikerjakan, namun tidak terus menerus, atau hukumnya sekedar
mustahab (disukai).[6]
Hal ini karena dalam pandangan madzab Maliki qunut telah dikerjakan secara
pasti oleh Nabi shalallahu’alaihi wassalam terlepas kemudian adanya perbedaan
pandangan bahwa beliau setelahnya meninggalkannya atau tidak.
C. As Syafi’iyah
Menurut
madzab Syafi’i Qunut shubuh hukumnya sunnah muakkadah. Berkata al Muhyiddin al
Imam Nawawi rahimahullah : “Qunut shubuh telah masyhur dalam madzab kami dipandang
sebagai perkara yang disunnahkan, dengan hukum sunnah Muakkadah.”[7]
Dalil yang digunakan diantaranya adalah hadits Anas
bin Malik :
مَا زَال رَسُول اللَّهِ يَقْنُتُ فِي
الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Senantiasa Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam melakukan qunut pada shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad).
Karena sifat kesunnahannnya yang kuat, menurut
madzab ini apabila Qunut ditinggalkan maka diharuskan mengganti dengan sujud
Sahwi.[8]
D. Al Hanabilah
Kalangan
madzab Hanbali memiliki pendapat yang kurang lebih sama dengan para ulama dari
madzab Hanafi yaitu tidak disunnahkan.[9] Hanya secara umum madzab
ini lebih lunak, meskipun memakruhkan, namun kebanyakan ulamanya berfatwa untuk
tetap menyertai imam yang membaca Qunut dengan turut berdo’a dengan mengangkat
tangan.
Sikap bijak para ulama
Para ulama madzab telah memberikan keteladanan
luhur kepada kita tentang bagaimana seharusnya menyikapi khilafiyah, termasuk
dalam masalah Qunut shubuh ini.
Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i ketika shalat di sebuah
masjid pinggiran kota Baghdad yang kala itu jama’ahnya kebanyakan dari kalangan
madzab Hanafiyah, beliau meninggalkan Qunut shubuh, sehingga orang-orang dari
madzab Hanafi berkomentar : “Itu merupakan adab yang baik seorang imam.”[10]
Al Imam Ahmad bin Hanbal, sang
pendiri madzab Hanbali berkata : “Jika aku shalat di belakang imam yang
berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua
ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan
kebencian antara satu dengan yang lainnya.”[11]
Wallahu a’lam.
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (34/57).
[2] Al Futuhat ar Rabbaniyah ‘alal Adzkar Nawawiyah (2/286).
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (34/57).
[4] Sunan at Tirmidzi (1/518).
[5] Bada’i ash Shana’i (1/273), Majma' al Anhar (1/129).
[6] Al Qawanin al Fiqhiyah hal. 66, Mawahibul Jalil (1/539), Minhajul Jalil (1/157).
[7] Al Adzkar Nawawi hal. 86.
[8] Majmu Syarh al Muhadzdzab (3/895)
[9] al Mughni (2/585).
[10] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah (2/302)
[11] Syarh Mumti’ (4/64).
0 comments
Post a Comment